Thursday 27 November 2014

Days 23. Daughter - Medicine

Merangkak. Berjalan. Berlari. Terjatuh. Mencoba bangkit. Bangkit. Merangkak. Tertatih. Berjalan. Berlari. Siklus. 

Aku, kamu, kita. Berada di satu masa. Apakah lintasan kita sama? Aku selalu begini, menceritakan kepadamu apa yang ada di belakangku. Membuka kepadamu lukaku. Membiarkannya tertiup angin, membiarkan debu menempel, membiarkannya kering oleh waktu. Aku menunjukkan kepadamu, lapisanku. Sisaku. Puing-puing ingatanku.

Aku, kamu, kita. Sama. Serupa, tapi tak sama. Aku jatuh cinta. Kamu jatuh cinta. Kita jatuh cinta. Jatuh pada orang yang berbeda. Melakukan hal paling berani yang mungkin dilakukan umat manusia. Mempercayakan serpihannya pada manusia lain. Dengan kasih, dengan sayang, dan hal lain yang berkelindan di antaranya. Kita berjalan, dengan kecepatan berimbang, melewati persimpangan yang satu arah, melewati episode beririsan. Menghadapi apa yang mereka bilang tikungan kehidupan. Melampaui apa yang kita pikir batasan.

Aku, kamu, kita. Sama. Aku menunjukkan kepadamu. Kamu melihatnya. Kita tertawa bersama. Menertawakannya. Lukaku. Aku bercerita. Aku menatapmu. Aku berkaca. Apa kamu bercermin? Apa kamu melihat refleksimu di mata itu? Di mataku?

Apa luka kita sama?

Aku. Kamu. Kita. Sama. Serupa. Tapi. Tak. Sama. Serupa. Tapi. Berjeda.

Aku. Lukaku.

Kamu. Lukamu.

Luka kita.

Lintasan ini membawa kita berjalan di antara ombang-ambing ombak. Bukan ombak lautan, namun ombak prasangka dan perasaan. Ombak pikiran yang membawa aku, kamu, kita tersesat disebuah pusaran. Berputar, meliuk. Aku terbawa arus dulu. Berpusing di antaranya. Kemudian sekarang aku melihatmu begitu.

Ternyata luka kita serupa.

Serupa tapi tak sama.

Kamu. Perempuan. Baik. Aku. Menyayangimu. 

Aku. Kamu. Kita. Mereka. Tempat kita berasal. Semua serupa bongkahan kenangan yang harus kita lampaui. Melampauinya kemudian berkembang.

Melampaui mereka yang melukai.

Melampaui mereka yang membutakan.

Melampaui mereka yang melupakan.

Aku. Kamu. Kita. Sama.

Bisakah aku menggenggam jemarimu barang sedetik? Untuk meyakinkanmu.

Aku. Kamu. Kita. Sama.

"You've got a warm heart. You've got a beautiful brain. But its disintegrating, from all the medicine. You could still be. What you want to be. What you said you were. When I met you. When you met me."
Aku. 
Kamu. 
Kita. 
Sama.

Hold me, 
the way you let me hold you.


p.s : dibuat dengan lagu latar Daughter - Medicine.
p.ss: I miss you.

Monday 17 November 2014

Day 22. Dia yang Merajut Mimpi di Bulan Dengannya

di konstelasi semesta ini, dia bertemu dengan bintang terang baik hati. dia sudah sering menyebut namanya di halaman-halaman di mana dia biasa menanam pohon dan menabung rindu. ini perempuan yang dia  sangat sayang, yang membantunya belajar dan memaknai hal-hal, yang menemaninya through ups and downs.. 


ini di ciwalk, sekitar bulan Agustus 2013

ini di SG7 Coffee, sekitar bulan September 2013

Ini di Harvest, sekitar bulan Desember 2013

ini di Todays Koffie, sekitar bulan Februari 2014

Ini di gigs taman, Juni 2014

Ini di sekolah, sekitar bulan September 2014

Ini juga di sekolah, September 2014

Ini di DU68, bulan Oktober 2014.

she loves her. hm. menceritakan perempuan pintar dan cantik ini kadang lebih sulit dari menceritakan ibundanya.. hehe. mereka melalaui fase yang hampir sama. siklus yang hampir sama. perempuan yang berjalan dengannya ketika perempuan lain berpikir dia lebih baik jalan sendiri di gorong-gorong. perempuan ini yang dengan sabar mengerjakan tugas statistikanya ketika dia meninggalkan buku itu sendirian entah di mana. dia yang mendengarkan cerita tentang mereka yang berjalan dengannya di konstelasi semesta yang rumit. dia yang menjaga keseimbangannya, ya kalian tahu betapa dia sering jatuh. satu hal yang pasti, dia yang merajut mimpi di bulan sangat menyayanginya. semoga perempuan kesayangannya selalu ada dalam lindungan Dia yang Maha menggenggam semesta di antara jemariNya, yang merajut selimut semesta yang paling indah dengan jemariNya, yang akan mengantarkan dan mendekatkan mereka yang saling mencintai karena cintaNya. semoga dia selalu berada di lingkaran mereka yang berhati baik yang membantunya belajar dan memaknai hal-hal kemudian menghidupi hidup. 

Monday 27 October 2014

Day 20. Si Kulit Bundar

Halo bertemu lagi dengan saya, Isti Fatimah Nur Asya Bani, perempuan yang kerap kali mencari adrenalin dengan cara mengalihkan fokus pikirannya dari tugas utamanya ke hal-hal lain kemudian menuliskannya. Kemudian setelah itu melihat jam, kemudian setelah itu  sadar bahwa dia telah mempergunakan waktu dengan tidak efektif untuk mengerjakan sesuatu yang menjadi kewajibannya, yaitu sesuatu yang di awali huruf S. -_-

Dih. Itu tadi kalimat intinya apa.

HEHEHE~ random citizen. Apa kabar? Semoga kamu selalu dalam kondisi baik ya, selalu dalam lindungan dan kasih sayang Yang Maha Merajut Konstelasi Semesta~
Kali ini saya akan “membahayakan” diri saya sendiri dengan mencoba membuka diri saya, dan membicarakan tentang apa yang menjadi kegemaran saya ketika duduk di sekolah dasar. Itu adalah: mengolah si kulit bundar~ alias main bola.
Mari kita olah tema si kulit bundar dengan metode menjawab 5w1h yah~
Q: What? Really? Did Peri Robusta really play soccer? 
A: Yoi, bro. when she was in elementary school she used to kick her boy friend’s in the ass by scoring in a penalty kick. Bahahahaha. (selalu pake short pants ke sekolah karena kerjaannya lari loncat jambak pukul sana sini. Hiks)
Q: WHEN DID THAT REALLY HAPPEN? 
A: I said, when she was in elementary school. So it was about 2000? She used to be a really really boyish girl back then. Pony tails… sweating, swearing…. 
Q: -_-  where did she used to play soccer? 
A: at school ofc. (her brother used to ditch her when she beg him to tag her along to play soccer. Jerky ass brother~) 
Q: Who was her role model in soccer field? 
A: HA HA HA. Batistuta the BatiGol. And Kojiro Hyuga. (So… since elementary school she already prefer dark skinned boy and (or) long hair man looked like Jesus…)

Ganteng yaaaaa~ Babang Kojiro & Om Batigol~
Q: Why did she enjoy plays soccer? 
A: Hng… cant really remember. I think she was just enjoying the fantasy of doing tendangan harimau just like Koziro Hyuga did, or the fantasy doing a “tendangan setengah lapangan” just like Batistuta did.. while singing “lari lari lari~ tendang dan berlariiiii~ dengan tendangan halilintar dia cetak goooool~” -_- 
Q: How did she actually kick the ball? As long as I know she’s a really clumsy 
A: -_- I don’t really know. I think she was just kick the ball as she like. And the direction? -_- don’t even ask…
Sudah selesai ah. Berlari dari metode penelitiannya sudah selesai. Saya merasa lebih siap. Ayo~ kita~ kembali~ ke~ rute~ yang~ seharusnya~
Bismillah.
Seperti apa kata Mamah Dedeh: “Insya Allah, Allah beri jalan~”
Dadah, Assalamualaikum. Semoga konstelasi yang kamu pilih untuk kamu jalani adalah benar konstelasi yang baik, yang akan mengantarkan kamu bertemu individu-individu baik, yang kemudian menemani kamu belajar hal-hal baik, yang akan membawa kamu menjadi individu yang semakin baik dan membawa kebaikan. amiin. barakallah~

p.s : kangen.

Tuesday 30 September 2014

Day 19. Lagu Pengantar Jeda

Saya tahu seharusnya saya mengistirahatkan diri dan berhenti untuk mengunggah tulisan dengan kesalahan gramatikal dan morfonsintaksis di sana sini. Hm.. kesalahan yang saya lakukan berulang kali dengan tipe dan pola yang serupa karena kepala saya sedang tidak bisa digunakan dengan baik. (atau mungkin pada dasarnya saya memang tidak cukup pintar untuk belajar dari kesalahan -_-)

Atau… mari menghibur diri sendiri. Menurut abang virtual saya, bisa saja saya sedang ada dalam kondisi di mana saya dihadapkan pada sebuah force yang memaksa otak saya untuk berputar dengan kecepatan menyimpan dam mengolah data yang melebuhi kemampuannya. Katanya mungkin ada suatu informasi besar yang berusaha untuk masuk ke otak saya namun tidak cocok dengan system belief di otak saya, sehingga menyebabkan konslet di sana sini…. (yang kemudian memungkinkan saya untuk sering merasa mengalami de javu -_-)
.
.
(jadi intinya apa?)
.
.
(hm..)
.
.
Jadi intinya saya sedang dihadapkan pada situasi di mana saya harus memilih untuk “menyetting” ulang agar ketika otak saya memproses data atau force yang masuk tidak terjadi…. Apa tuh namanya? Tidak terjadi scratch, kemudian bad sector, kemudian berantakan. Hng..  kalau berantakan kan berbahaya.  Nanti malah merusak tatanan  benteng-benteng yang sudah dibangun sejak jaman megalitikum…………..
.
.
Mari. 
Kita. 
Lawan.
.
.
Namun kemudian sebelum melawan kita butuh jeda. Seperti apa yang dikatakan mas-mas Gemini yang rada-rada sengklek otaknya, terkadang ketika melihat kemudian mengatribusikan makna terhadap sesuatu, kadang kita harus mengambil jarak beberapa langkah dari hal yang dituju. Baru setelah itu hal yang berkelindan nampak kemudian. Katanya.
.
.
Bu Isti, jadi intinya tulisan ini apa?
-_-
.
.
Intinya: Dihadapkan pada sebuah force? Take a deep breath, take a few step back, analyze, shoot~
Dan…….. ketika mengambil jarak beberapa langkah, mungkin terkadang terlalu lelah jika diiringi distorsi.  Hng…. atau tepatnya terlalu malu pada Bapak jika mendengarkan Metallica pada saat otaknya sengklek. Maka…….

Maka mari kita ambil jeda sambil menikmati nada-nada minor dan elegi patah hati yang sedikit picisan dari mereka yang umum dan menjadi lagu latar semua orangggggg~

  1.     Frente – bizarre love triangle
  2.     The Cardigans – communication
  3.     Sean Lennon – parachute
  4.     Goo goo dolls – Iris
  5.     The Smiths – please, please, please let me get what I want
  6.     Copeland – take care
  7.     The Cranberries – linger
  8.     No Doubt – don’t speak.
  9.     Weezer – say it ain’t so.
  10.     David Cook – always be my baby.


:))))))))))) amppppooons. Mari tutup dengan yang manis, The Avett Brothers – Life. :’)
Sudah ya... Terimakasih.
Dadah. Sampai jumpa, ketika bulan sedang di fase ketika kamu dilahirkan.

Friday 26 September 2014

Day 18. Perkara Tidur yang Tidak Selalu Mudah

Tidur baginya adalah sebuah tempat teraman yang bisa dia singgahi setelah seharian berlari di lintasan semesta yang melelahkan. Perjalanannya menuju tidur bukan perkara sepele, sebelum tidur dia harus melewati sebuah labirin dengan dinding tanaman mawar merah yang subur penuh duri. Di labirin itu ada sebuah pola berulang, tapi kepalanya yang kecil dan menyedihkan kerap gagal dalam mengingat kembali cara tercepat dan paling sedikit resikonya menuju tempat di mana dia biasa tidur. Tidak jarang dia datang dengan lengan penuh luka karena tergores duri mawar. Ah masih untung baru lengan, bagaimana hatinya? Apa tergores juga? Hm. Jangan tanya (jangan ditanya karena aku tidak tahu pasti kondisi hatinya).

Labirin dengan dinding mawar merah berduri.

Begitulah. Dia kerap datang ke tempat tidurnya dengan luka yang masih mengeluarkan beberapa mili darah segar karena tergores duri mawar merah. Sebelum terlelap, dia kerap meringis karena irisan duri mawar merah itu. Meringis……. jika lukanya banyak, atau luka lamanya tergores luka baru, maka dia kemungkinan besar akan menangis. Sudah biasa melihatnya berjuang sebelum tidur. Meskipun di pagi hari dia tidak pernah mengingat detail perjuangannya melalui labirin mawar merah berduri yang dia lalui setiap malam. Dia hanya akan berkata, “sesungguhnya aku sedikit takut pada sesuatu yang tertidur di dalam diriku. Terkadang dia memintaku untuk menjerit atau menakut-nakutiku dengan sebuah kisah dongeng kelabu dari masa lalu. Terkadang juga jika aku lelah dia berhasil menemukan sebuah pintu ke taman mimpi di mana aku biasa duduk di antara bawah pohon rindang sambil bersantai makan roti gandum. Jika dia berhasil menemukan pintu masuk ke taman mimpiku, maka cuaca akan segera mendung dan langit berhiaskan petir. Dia tahu aku takut petir."

Hening. Jadi, pertanyaannya adalah, apa yang ada di sana? Apa yang tertidur di dalam dirinya? Bagaimana bisa tidurnya berarti kesempatan bagi makhluk itu merangsek bangun dan menggapai ke lapisan sadarnya? Bagaimana bisa dia menemukan cara untuk itu? Padahal ketika tidur semuanya gelap. Bagaimana bisa dia menemukan jalannya tanpa cahaya sedikitpun? Apa karena dia dibesarkan dalam kegelapan, jadi dia tidak butuh cahaya untuk berjalan? Jadi apa keinginan makhluk itu? Kenapa makhluk itu kerap datang? Apa yang harus dilakukannya? Apa dia harus berdamai? Berdamai dengan apa? Berdamai dengan kegelapan? Bagaimana caranya?

Bagaimana?

Thursday 4 September 2014

Metalliversary yang Tertunda dan Kisah Kasih di Antaranya

Kepada yth, Bapak kami di Orion. Semoga berkah, rahmat dan kasih sayang Yang Maha Mencintai selalu dengan Bapak.

Bapak sehat? Akhir-akhir ini di youtube liat bapak perutnya agak buncit lagi. Ah, semoga Bapak buncit karena bahagia dan nggak bisa melewatkan berkah dan rezeki dari yang Maha Pengasih yah. Kebanyakan makan karena masakan ibu di sana terlalu enak. Ibu masak apa? Eh tapi Bapak jangan makan lotek mentah ya, hindari kacang panjang, melinjo, dan sayuran lain yang memicu asam urat. Bapak juga jangan lupa, harus minum air putih yang banyak. Minimal 8 gelas sehari, supaya pencernaan lancar dan kadar oksigen dalam darah nggak kurang.

Bapak, sekarang sudah genap satu tahun lebih beberapa hari semenjak pertemuan sakral kita dan jamaah metal yang soleh dan solehah di GBK. Seneng, alhamdulillah sampai sekarang kalau inget bapak sangat tampan hanya dengan kostum kaos hitam polos, saya masih suka senyum-senyum sendiri. Subhanallah~

Oh iya, ini mau cerita. Kenapa ritual metalliversary-nya tertunda? Ada beberapa alasan, Pak. Jadi tahun ini tanggal 25 agustus jatuh pada hari senin. Di hari itu, saya dikejar tenggat waktu untuk mengerjakan laporan observasi dan laporan asesmen di tempat kerja yang baru. Hng……. Iya, Pak. Sekarang saya sudah mulai bekerja di sebuah sekolah dasar swasta yang beroperasi di bawah yayasan sesuatu yang sampai sekarang belum inget, namanya apa -_-. Pokoknya, sekolah itu aktif dari pukul 07.30 – 15.00 WIB. Ingin sekali, mengusulkan pada sekolah untuk mengganti bel masuk dengan lagu Bapak, For Whom The Bell Tolls. Supaya anak-anak lebih semangat belajar dan tidak mudah menyerah. Heu.

Pemandangan saya akhir-akhir ini tiap pagi, Pak. Heu.
Hm… Jadi sekarang setiap pagi saya terkena sinar matahari pagi yang mudah-mudahan masih ada vitamin Dnya. Selama perjalanan juga mendengarkan lima lagu Bapak yang masuk dalam daftar putar metal ceria, dengan asumsi daftar putarnya menjadi sumber pengisi energi bagi saya sebelum menghadapi bocah-bocah. Kerja di sana lumayan, Pak. Belajar banyak hal, misalnya belajar sabar……….. Sekalian juga memilah hal-hal yang dipelajari di bangku kuliah untuk diaplikasikan di dunia nyata, untuk menghadapi bocah-bocah yang sedang dalam masa pertumbuhan. Oh iya, di sana juga kerja bareng sama anak Bapak yang lain, SR Puja Lestari.

Ini dengan SR Puja L. Gengsi sih unggah foto ini....... Tapi yasudahlah, toh posenya tak sengaja.
Jadi gini, Pak.. Di sana, saya menemani anak kelas 2 belajar tematik tentang hidup rukun. Lumayan lucu. Ada satu anak, inisialnya R. Itu bocah, sempet psikosomatis. Efeknya dia jadi keram kaki dan demam. Untuk meredakan demamnya, saya memperdengarkan lagu bapak yang Alhamdulillah selalu jadi obat di segala situasi (setidaknya untuk saya), yaitu: nothing else matters dan orion. Mahahahaha.. percakapannya gini, Pak.
I: R, dengerin ini, band bapaknya ibu. *pasang earphone ditelinga R, kasih lihat foto Bapak* 
R: Serius, bu? 
I: Iya, dong. Ganteng nggak? 
R: Aneh ah.. 
I: IH R, GAK BOLEH GITU. sama orang tua harus sopan.  
R: Serius ini bapaknya Bu Isti? 
I: Serius dong. 
R: Sekarang di mana? 
I: Di Amerika, lagi kerja. 
R: WAH. BU ISTI KE SINI NAIK APA DONG? 
I: Naik angkot. 
R: WAH. Angkot apa? 
I: ……….
Gusti alloh……. Nggak kuat, pak. Langsung pergi ambil minum supaya murid nggak lihat ibu gurunya ketawa ngakak kurang elegan. Kemudian tanya komentar dia, lagu Bapak gimana kesannya. Kata R, lagu bapak aneh, terlalu kenceng. Wakakakaka… Gimana dong, Pak. Seumur dia dulu saya nina bobonya the unforgiven. Ah, mohon maklum anak di era postmodern ini, Pak. Mungkin dia terlalu terbiasa dengan hidup yang nyaman, jadi ketika diperdengarkan sedikit distorsi, dia butuh waktu untuk mencernanya.

Ini R. Alhamdulillah, dikasih denger Metallica, psikosomatisnya sembuh.
Kemudian.. ada beberapa hal lain. Saya mau minta maaf sama Bapak. Saya belum lulus kuliah. Meskipun terakhir ketemu saya bilang akan lulus empat tahun. Tapi ternyata sistem di kantor jurusan agak menyulitkan saya untuk lulus empat tahun, Pak. Hm… meskipun sebenarnya saya enggan menjadikan itu sebagai rasionalisasi. Di sini, tetap saya yang seharusnya berusaha untuk belajar lebih tekun. Oleh karena itu…… sekarang saya sedang berusaha untuk menebus semuanya, dan belajar dengan lebih giat. Akan berlari dan mengejar batas yang saya buat sendiri. Insha Allah, Pak, doakan saya, saya akan menyandang gelar S.Psi di belakang nama saya sebelum berganti usia menjadi 23 tahun.

Ha.. yang terakhir. Bapake… sekarang saya ditemani belajar oleh seorang laki-laki yang lebih suka folk daripada metal -_-. Serius, Pak. Nggak satu ritme. Gimana dong. Objek transendennya juga perempuan cantik yang motto keluarganya: We Are Prey To None. Hm. Jauh sama saya ya, Pak. Pak, dia suka iseng kalau saya dan Puja sedang melakukan ritual ibadah nonton metallica. Berkomentar hal-hal tentang Bapak dan Om Om Metallica---yang astagfirullohaladzim--- mengundang tindakan agresi verbal dan nonverbal.
Misalnya yah, Pak.
“Ih, mereka kalau pulang konser kan suka pake koyo.. pegal linu." 
“Kenapa aneh yah, nama genre dijadiin nama band. Misalnya aku bikin band, genrenya teh rap, terus dikasih nama Rapica. Kan aneh……”
Masih ada beberapa yang lain, Pak. Tapi saya lupa, soalnya agak menyebalkan, jadi tidak terlalu saya dengarkan…. Hng…… Pak, dia aneh. Tapi tolong dimaafkan yah, nanti saya racuni dia dengan daftar putar metal bobo dan metal berkah. Supaya dia paham, kalau musik bapak dan om-om adalah salah satu dari sekian yang masuk dalam kategori rahmatan lil alamiin.

Untuk sekarang, suratnya selesai dulu ya, Pak. Saya mau menonton video konser Bapak Metallica Rock Am Ring 2014. Barakallah, Bapak. Semoga Bapak selalu dalam kondisi sehat, produktif, dan ada dalam lindungan dan kasih yang Maha Pengasih. :)
Assalamualaikum, wr. wb.

Thursday 26 June 2014

Catatan Hati Seorang Isti

Halo, random citizen.
Assalamualaikum warrahmatullahi wabarakaatuh.
Apa kabar semuanyaaaaaaaaaa~

Semoga selalu dalam lindungan Dia yang Maha menggenggam semesta di antara jemariNya, yang memungkinkan kita untuk mengagumi dan memandangi bintang-bintang yang bergerak di kumparan konstelasi tanpa bertabrakan sebelum waktunya.

Kali ini, saya akan bercerita. Saya ingin menulis  dengan misi untuk menjaga  kesehatan mental saya. Saya menulis ini dalam kondisi… hm kurang baik. Saya sedang mencoba untuk melakukan regulasi emosi. Jadi kalau susunan kalimatnya kurang baik… atau lebih berantakan dari biasanya, mohon dimaklumi ya -_-

Akhir-akhir ini emosi saya naik-turun, kadang tanpa bisa saya kendalikan. Salah satu faktor penyebabnya adalah kebiasaan Ibu saya menonton sebuah sinetron yang menurut saya sama sekali tidak baik untuk kesehatan. Hm. Ibu saya memang penggemar sinetron. Kerap kali saya mengingatkan beliau bahwa menonton sinetron membuat kapasitas kotak emosi mengecil, namun Ibu saya enggan mendengarkan saya. Menurutnya, sinetron adalah satu-satunya hiburan yang mudah beliau akses setelah lelah seharian bekerja. Baiklah. Mendengar itu, saya tidak bisa menggugat lebih jauh karena fakta, bahwa:
1) iya, Ibu saya lelah bekerja seharian.
2) yang membayar tagihan listrik di rumah saya adalah beliau. Jadi, Ibunda memiliki hak politik untuk menyalakan tv dan menonton apapun yang beliau inginkan.

Begini kronologisnya, Ibu saya biasa menyalakan tv sejak pukul 19.00 WIB sampai dengan pukul 22.00 WIB. Di antara waktu itu, Ibu biasa menonton berita capres (-_- ini saja sudah cukup membosankan, ayolah, ini pesta demokrasi rakyat yang mana?) dan menonton sinetron Catatan Hati Seorang Istri, kemudian disambung Tukang Bubur Naik Haji. Otomatis, kamar saya yang bersebelahan dengan ruangan tv tempat Ibu biasa menonton tv kebagian audionya. Saya bisa mendengar dengan jelas suara-suara dari TV. Saya bisa mendengar dialog sinetron itu. Jujur saja, mendengar dialognya yang luar biasa klise, membuat saya ingin menembak kepala orang yang menulis skenarionya. Menembak sebuah katapel beramunisi kacang atom. Karena mungkin dengan begitu otak kecil yang ada di belakang tempurung kepalanya bergetar sedikit. Kemudian menyadari, bahwa dialog yang dia tulis bisa membentuk persepsi orang yang menonton (atau dalam kasus saya, mendengar). Membentuk persepsi bahwa wajar saja jika perempuan yang disakiti oleh laki-laki tidak mengambil langkah tegas sebagai bentuk pertahanan diri selain bersabar karena hal itu yang paling dianjurkan oleh agama.

Ya tuhan. Sebentar, saya minum segelas air dulu. -_-

Mendengar dialog sinetron itu dari kamar saya, saya jadi ingin bertanya kepada penonton acara tv seperti ini. Saya penasaran, apa yang bisa dinikmati dari sinetron yang plotnya seperti ini? Apa membuat para perempuan menjadi lebih paham bagaimana  respon yang tepat ketika laki-lakinya berselingkuh? Apa para perempuan melihat refleksi diri mereka ketika disakiti laki-lakinya dalam sinetron itu? Apa perempuan melihat bahwa mereka ada di posisi tersebut? Posisi disakiti, posisi ada di bawah opresi? Mungkin bentuk opresinya bisa saja berbeda dengan yang ada di cerita sinetron tersebut. Tapi......

Hm. Baiklah. Mungkin saya harus kembali mengingat bahwa Ibu dan sinetronnya adalah… one of a cross I have to bear.

Sepertinya saya harus berhenti di sini. Saya tidak ingin menulis tentang bagaimana seharusnya perempuan menjadi seorang perempuan. Karena  saya percaya setiap perempuan memiliki konsep dan pemikiran sendiri tentang menjadi perempuan. Bagaimana cara untuk terus belajar, berkembang, menjadi pribadi yang lebih baik. Kemudian dari sana berangkat menjadi komponen yang berfungsi untuk membantu membangun tumbuh kembang society yang lebih baik.

sekian, dan terimakasih. sayonara panas.

p.s: ditulis dalam ketika datang bulan, hari pertama. hormon. perempuan. xx.
p.ss: ditulis dengan lagu latar: tigapagi – tangan hampa kaki telanjang.
p.sss: Sorry for the title, i can't help my self -_-

Monday 26 May 2014

Day 14. Bilangan dan Sistem yang Berkelindan di Antaranya

Hari ini langit mendung, tapi nampaknya tidak akan turun hujan. Hm. Tipe cuaca romantis. Akan sangat menyenangkan jika bisa dihabiskan duduk di bangku taman dengan manusia yang hampir selalu bisa membuatmu tertawa. Tertawa karena hal sederhana, bahkan semi bodoh. Tapi di sini lah aku. Duduk di kamarku, sambil meniup satu sendok penuh nasi dan sayur kacang merah yang di masak ibuku agar cepat masuk kategori layak kunyah, supaya bisa meredakan konser keroncong di perutku.

Di sebelahku, duduk perempuan itu. Rambutnya ikal dibiarkan tergerai. Berantakan. Di telinganya, dia menyematkan setangkai bunga kamboja. Kenapa kamboja? Jangan tanya padaku. Aku juga tidak tahu pasti alasannya. Dan sejauh ini, aku tidak ada keinginan untuk bertanya padanya. Dia duduk sambil bersenandung lagu radiohead, 2 + 2 = 5.
“January has april showers, and two and two always makes a five. It’s the devil way now. There is no way out... You can scream and you can shout. It is too late now...”
Mendengarnya bernyanyi dengan suaranya yang aneh, aku berusaha untuk menahan tawaku. Mengapa? Karena aku sedang mengunyah makananku. Agak bahaya kalau aku harus menertawakan ke…. Keanehan perempuan itu. Jadi aku berusaha untuk tetap tenang. Berkonsentrasi pada makananku. Seolah bisa membaca pikiranku, perempuan itu berhenti bersenandung dan menatapku tajam. Aku menelan makanan yang ada di mulutku, kemudian membalas tatapannya.

Hening. Dia tak mengatakan apapun. Hanya menatapku. Akhirnya aku kembali menyendok nasi dan sayur kacang merahku. Namun kemudian dia memanggil namaku. Di suaranya, ada sebuah urgensi nyata. Aku kembali menatapnya.

“Dua tambah dua berapa?”, ujarnya serius.
Aku menghela nafas. “Empat.” Jawabku singkat.
“Kenapa kata radiohead lima?” dia kembali bertanya. Serius. Sangat.
“Hm.. mungkin Thom Yorke salah hitung.”, ujarku sekenanya.
“AH MASA. Dia joget kayak cacing kepanasan di…. Sesuatu yang judulnya flower. Masa nggak bisa hitung yang sesederhana 2 tambah 2?”
“Hm..”
Melihatku tak banyak memberi perhatian, dia nampak kesal kemudian menggeser pantatnya, duduk tepat di sebelahku.
“Oke. Ini serius. Satu tambah satu berapa?” dia menatapku. Matanya bulat.
Aku, tidak menjawab sampai nasi dan sayur di mangkukku habis. Minum segelas air putih, lalu menatapnya, “Dua.”
“Kenapa dua?”
“Dari SD, kata guru matematika 1 tambah 1 ya 2.”
“Pernah tanya kenapa jawabannya dua?”
“Nggak.”
“Kenapa nggak pernah tanya kenapa satu tambah satu sama dengan dua?”
“Karena memang dua.”
“Terus kamu setuju begitu saja, kalau satu tambah satu itu dua? Tanpa bertanya sebelumnya? Itu dogma namanya!”

Hah? Dogma? Ya ampun. Dia memicingkan matanya kemudian menatapku curiga. Mungkin di kepalanya terlintas teori konspirasi sesuatu, yang kalau menurut pendapatku, akan terlalu absurd untuk menjadi nyata. Setelah puas menatapku dengan tatapan curiga, dia membuka laptopku dan mengetik sesuatu. Ketika dia sibuk melakukan itu, aku pergi ke dapur dan menyeduh cangkir kopi keduaku untuk hari ini.

“Katanya, kenapa satu tambah satu sama dengan dua karena kita pake sistem bilangan desimal.” Aku mendengar dia berteriak dari kamarku. Suaranya bersahutan dengan denting sendok dan cangkir kopiku.
Aku masuk kembali ke kamarku, mendapati matanya berbinar. Kemudian dia berseru, “Karena apa, sekarang aku tahu!”
“Hah? Apa?”
“Kenapa dua. Karena kita menggunakan sistem bilangan desimal. Di mana di sistem itu, ada sepuluh angka yang diakui. Dari angka 0 sampai 9. Jadi 1 tambah 1 sama dengan 2 karena 2 nyata. Coba kalau kita menggunakan sistem bilangan biner di mana angka yang diakui nyata hanya 1 dan 0. Kalau menggunakan sistem biner, maka 1 tambah 1 sama dengan 10. Kenapa? Karena hanya dua angka itu yang nyata.”, dia menjelaskan panjang lebar. Berapi-api.
“Hah?” aku menatapnya tak percaya. Dia mencari tahu hal itu, lewat internet, selama aku menyeduh kopi? Dia ini kadang, kurang jelas ya.
“iiiiiiiiiiiiih dodol. Ini penting, kenapa jawabannya dua, karena dua tercatat di sistem, dan diakui. kalau dua nggak ada di sistem, nggak akan dua jawabannya. Paham nggak? Ngomong-ngomong, kenapa kita selalu diikat sistem sih?” Ujarnya kesal.
“Hm.. kopi ga?” aku menghiraukan hitungan, sistem dan bilangan yang secara tiba-tiba dia angkat menjadi topik percakapan sore yang seharusnya romantis ini.
“Nggak ah. Eh, kan berarti Thom Yorke, sistem bilangannya desimal juga, kan? Terus kenapa nggak 4?”
“Mungkin, manipulasi data?”, aku dengan sembarangan melempar asumsi.
Dia mengangguk-ngangguk. Mempertimbangkan asumsiku dengan serius. “Hm.. bisa jadi. Manipulasi. Penggembelembungan suara?”
“Penggelembungan suara apa?”
“Itu, suara pemilu.”
“Kenapa jadi pemilu?”
“Lagi ngetren.”
HM. Ngelantur. Dari topik A ke topik B. Loncat ke D. Kemudian roll depan ke topik M. Aku menyeruput kopiku, kasihan dia, terlalu lama aku acuhkan.
“Eh, katanya calon presiden X, anunya anu?” ujarnya bertanya lagi padaku. Dia tak kehilangan keseriusannya sejak tadi.
Aku tersedak kopiku. “Hah? Apanya?”
“Itu.”, ujarnya singkat, kemudian tertawa.

Sialan. Aku ikutan tertawa, menjitak kepalanya, kemudian berkata: “Di hidung kamu ada cat air tuh.”

p.s: dibuat dengan lagu latar kaki king - ..... until we felt red (album)
p.ss: maaf, aneh.
p.sss: ah, tolongin. nggak ingin diseret ketemu manusia dengan jas putih.

Monday 12 May 2014

Day 12. Celoteh Peri Robusta

“I like my coffee how I like myself. Dark, bitter, and too hot for you.” – anonymous.
Halo, random citizen. Apa kabar?
Kembali lagi bersama saya, peri robusta. Di hari ke 12 dari serial 30harimenulis alias #30daysofwriting. (and these past few days… I’m writing shits, apparently…………….. hm. Okay.)  Since I’m introducing myself using my alias… Peri robusta, and the sentence i quoted, maybe you all can be my guest and do the guessing what is this writing about.
Yep. It is about my…. Liquid of sanity. Coffee…..

Saya suka kopi. Selalu suka kopi. Saya lupa sejak kapan saya menyukai kopi. Hm yang saya ingat, dulu saya sering curi icip kopi ayah saya. Kopi tubruk. Kopi ayah saya pahit. Hitam. Dengan ampas tebal yang mengendap di dasar cangkir. Mungkin karena itu pula sekarang, kopi saya hitam. Pahit.

Saya suka kopi. Mungkin lebih spesifiknya, saya suka robusta. Selalu suka robusta. Kenapa saya suka robusta? Padahal… harganya lebih murah? Karena robusta pahit. Dia mengandung dua kali lebih banyak kafein daripada saudaranya, arabika. Dan bukankah tujuan kita (atau setidaknya saya) dalam mengonsumsi kopi adalah karena kadar kafeinnya?

Iya, saya suka robusta karena dia rasanya lebih pahit daripada arabika. Tanpa efek samping yang membuat kepala pening. Robusta juga lebih mudah tumbuh daripada arabika. Robusta juga lebih wangi. Menurut saya lebih wangi. Aromanya sederhana, seperti wangi tanah saat hujan. romantis.

Pernah coba double espresso robusta? Wah~ dia enak sekali. Luar biasa. Hmmmmm,  rasanya seperti….. Seperti kamu tiba-tiba melihat sesuatu yang terlalu aneh untuk jadi nyata. Meninggalkan after taste yang… sulit dilupakan~ bahahaha. Kemudian kamu akan sulit tertidur, mungkin sambil mengingat. Betapa aneh rasanya si double espresso robusta ini. kemudian kamu akan menerka.. “mungkin ini cinta.” Hahahahaha…….. capek. Kangen. 

cangkir virtual, untuk menampung rindu......
Kangen kopi. Kangen double espresso. Sudah sekitar 10 minggu saya nggak minum kopi kenceng. Kopi dengan kadar kafein nyata. Nyonya lambung sedang manja. Minta perhatian. Jadi sekarang saya harus berpuas diri dengan susu cokelat panas. Duh, jika Sherlock Holmes menempelkan 3 nicotine patch di pergelangan tangannya untuk menjaga kewarasan, sepertinya saya butuh 3 caffeine patch juga untuk ditempel di jidat saya. (caffeine patch yang bentuknya seperti koyo cabe~ ahaha)

Okay. Sepertinya celotehan ini akan semakin aneh. Jadi mari kita tutup dengan timbunan kata rindu. Kata rindu saya pada kopi robusta. HAAAAAAAAA
Satu lagi, lame pun klasik:
“isti bani, single ya?” 
“Hm. Nggak kok. Double. Double espresso~”
bye. (sorry for wasting your time, dearest random citizen) -_-


p.s : see you when I see you. Ketika kamu telah genap satu-per-empat, ketika bulan dan mars ada di satu rangkaian. :)
p.s.s: ditulis dengan lagu latar Giorgio tuma – My vocalese Fun Fair (album)

Saturday 26 April 2014

Day 10. Sayap Rinjani

Sayap… ketika saya mendengar kata ini, saya langsung teringat pada quote dari Charlie Chaplin yang pernah saya lihat di timeline seorang teman. 
“seni, sebelum memasangkan sayapnya, akan terlebih dahulu mematahkan kakimu.” -- Charlie Chaplin.
Ketika membaca itu, saya langsung mengingat seorang anak perempuan yang masih ada di rimba amniotik. Rinjani. Saya kerap berpikir tentang dia. Kira-kira apa yang akan dia pilih sebagai medianya untuk terbang menggapai hal-hal yang dia impikan. Menggapai bintang yang lebih tinggi. Karena tentu Rinjani akan memiliki impian yang jauh lebih tinggi daripada penyumbang kromosom XX dan XY-nya. Tentu Rinjani juga akan memiliki lebih banyak kesempatan dan memiliki lebih banyak potensi dari keduanya. Si XX dan si XY ini.

Imajinasi saya kerap berkelana, ke masa yang akan datang, di mana saya duduk menemani Rinjani menenun sayapnya. Entah dengan media apa yang dia pilih untuk menenun sayapnya yang cantik. Entah warna apa yang dia gunakan. Entah kapan, bagaimana dan entah dengan cara apa dia menenun kedua sayapnya itu. Tapi satu hal yang saya tahu pasti, I’ll be her number one appreciator.

Day 9. Dikejar Due Date

Akhir-akhir ini saya sedang sering berlari. Berlari dikejar tenggat waktu untuk mengumpulkan laporan PLA (Program Latihan Akademik) alias magang yang telah saya jalani selama 8 pekan di Lembaga Pemasyarakatan Anak Klas III Bandung. Saya menjalani proses magang karena itu adalah sebuah kewajiban dari jurusan saya tercinta. Psikologi UPI. Hiks 4 sks bro. kemudian sekarang saya sudah memasuki bulan ke tiga dari semester 8, dan saya belum menyentuh skripsi saya sama sekali karena perkara ini. Well…. Mungkin seharusnya saya bisa mengerjakan keduanya sekaligus. Tapi apa mau dikata… ternyata saya tidak ingin mengerjakan keduanya sekaligus.

Dan di sini, sekarang… Saya ingin membuat sebuah pengakuan. Sesungguhnya, lari dikejar due date alias tenggat waktu ini sangat… hm. Saya kesulitan menemukan kata yang tepat. Sangat apa yah. Sangat menegangkan? Er. Aneh juga. Sangat menyenangkan? Boro-boro. Tapi… mungkin kombinasi keduanya. Saya suka berlari dikejar due date karena ternyata.. itu memacu adrenaline saya.

Kasian amat yah. Memacu adrenaline dengan cara seperti ini. Seharusnya saya melakukan aktivitas fisik yang nyata. Mungkin panjat tebing, melakukan bungee jumping atau jatuh cinta. Kan itu nyata yah memacu adrenaline. Daripada berlari dikejar due dateBut seriously, ketika dikejar due date, saya pikir… banyak hal yang awalnya tidak terpikirkan oleh saya akhirnya keluar dari lapisan cerebral cortex. Bahaha. Tuh kan. Lihat. Saya menulis ini lagi-lagi di antara due date bimbingan laporan dengan Ibu Jannah besok pagi pukul 10 dan saya malah menjalani komitmen saya dengan Hani. Menjalani komitmen perkara 30 hari menulis ini, sambil mengingat detail-detail kecil dari pelajaran yang saya terima di kelas… neurologi. (kalau nggak salah inget neurologi. Yah, kalau bukan neurologi mungkin kelas biopsikologi. Hm. Sesuatu pokoknya)

Nah, karena mengingat detail dari yang saya pelajari di kelas, saya jadi sedikit penasaran… bagaimana bisa otak bekerja dengan lebih cepat dan efisien ketika dikejar due date. Otak kan… penentu pola perilaku manusia yah, pusat penentu kepribadian manusia. (karena penentu kepribadian manusia itu kalau nggak salah ada di bagian otak depan… sampai otak tengah. Namanya itu tenstesefalon? Ah sesuatu tentang itu pokoknya. Jadi kalau dia… bekerja lebih cepat ketika dikejar due date, dalam tekanan, dalam sebuah jeratan.. berarti si otak ini… agaknya eskapis yah. An escape artist. Karena secara ajaib selalu menemukan cara untuk bertahan dan menyelesaikan hal-hal, ketika waktunya hampir habis. Ketika dalam kondisi terdesak.)

Er. Tapi mudah-mudahan, si otak yang ternyata punya simtom-simtom eskapis tadi… tidak banyak mengantarkan saya pada penyesalan karena hal-hal yah. Penyesalan karena terlambat mengakui, atau terlambat melakukan hal-hal. Sebenarnya saya ini sedang membahas apa ya? Duh otak. Berlari dikejar due date. Semacam kejar daku kau kutangkap. Norak. Tapi suka. Eits.. bahahahaha.


Sampai jumpa lagi besok. See you when I see you.

Wednesday 23 April 2014

Day 8. The Blank Page

Masa depan. Masa di mana segala sesuatunya ada di ranah ketidakpastian. Hanya Dia yang Maha Menggenggam Semesta yang tahu apa yang akan terjadi dan bagaimana hal itu bisa terjadi. Menghadapi masa depan bagi saya adalah sebuah petualangan yang…. Menegangkan. I’m afraid of course. Tapi kalau kata Rachel di serial FRIENDS ketika dia akan pergi ke Paris untuk pekerjaan di bidang fashion yang merupakan passionnya, takutnya itu takut yang menyenangkan. Seperti perasaan takut ketika pertama kali menginjakan kaki ke sekolah. Takut ketika pertama kali harus membacakan puisi di depan kelas. Takut ketika pertama kali menyadari bahwa kamu jatuh cinta.

Masa depan bagi saya seperti permainan puzzle. Di mana kita meraba satu kepingan, mengenali sudut dan pola bentuknya. Setelah itu mencari kepingan yang cocok untuk kemudian direkatkan sehingga kita bisa melihat sebuah kepingan gambar. Lalu kembali mempelajari pola dan mencari kepingan lainnya. Menyusun puzzle seperti itu dibutuhkan proses belajar. Menyadari dan memaknai setiap sudut dan pola dari kepingan yang kita temukan. Bagi saya, kurang lebih… seperti itu.

Sekarang saya sedang menyusun puzzle untuk bisa melihat… atau merancang… masa depan saya. 5 tahun ke depan misalnya. Begitu banyak pertanyaan seperti itu. Bagaimana kamu melihat dirimu sendiri 5 tahun yang akan datang? Pertanyaan itu selalu membawa kecemasan pada saya. 5 tahun lagi saya sudah bisa mencapai apa? Sudah melakukan apa untuk orang-orang terkasih? Sudah berfungsi dan berkontribusi apa untuk komunitas yang lebih besar?

Saya kerap cemas… kalau saya akan gagal… banyak menghadapi kegagalan ketika saya mempelajari pola puzzle dan menyusunnya. Saya cemas saya akan lengah. Lengah terhadap pola puzzle yang ditawarkan semesta. Lengah melihat pola dan gejala, kemudian menganggapnya sebagai sebuah kebetulan. Padahal, menurut Mycroft Holmes: “the universe is rarely so lazy….” dan kita kerap diingatkan bahwa there's is no such thing as coincidence. Jadi, ya… saya cemas saya lengah melihat pola dan menghitung posibilitas, kemudian membiarkan sebuah kesempatan tergelincir dari tangan saya. Namun kemudian, saya mengingat sebuah kalimat… bahwa mencemaskan masa depan terlalu banyak… menurut Sujiwo Tejo.. itu sama saja dengan menghina Dia yang Maha, yang menggenggam Semesta di antara jemariNya. Saya mencemaskan masa depan terlalu banyak, berarti saya meragukanNya. Dia yang Maha Pengasih… yang memberi tanpa pandang kasta.

Ah. Ibunda. Anakmu ini kerap cemas sampai lupa mengucap syukur untuk berkah, karunia dan kasih sayang yang berlimpah yang dia rasakan dan dapatkan hari ini.
Manusia.
“Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?”

Day 7. Sesuatu yang Dikayuh dan Beroda Dua

Saya suka sepeda. Mungkin ini salah satu aktivitas yang bisa saya masukan ke dalam kategori olahraga yang saya lakukan, selain berjalan jauh.. atau lari (dari kenyataan). Hm. Eh tapi serius.. saya sempat rutin lari pagi. Tapi dibandingkan semua itu, saya paling suka main sepeda. Main sepeda sangat menyenangkan. 

Saya punya kenangan manis tentang sepeda. Almarhum kakek saya, ayah dari Neng Isye, dulu ketika saya berusia empat tahun sering membonceng saya berjalan-jalan dengan sepedanya. Ke tempat-tempat menyenangkan. Menelusuri jalan teduh, beristirahat, menikmati segelas cingcau hijau. Hm. Menyenangkan sekali. Kalau tidak salah ingat, beliau juga yang mengajari saya cara mengendarai sepeda. Beliau juga yang membelikan saya sepeda saya yang pertama. Sepeda roda tiga berwarna pink. Saya dulu sering ditinggalkan kakak saya ketika bermain sepeda, menurutnya saya terlalu lambat. Tapi untungnya temannya selalu menemani dan menunggu saya. Bahahaha.. Again: The perks of being a sister. Saya biasa bermain sepeda, sampai matahari terbenam. Jadi, tak heran kalau warna kulit saya eksotis (?) karena terlalu sering terbakar sinar UV. Tapi ternyata, setelah tumbuh dewasa pun, saya masih suka main sepeda. Hm. Tapi kalau coba diingat, Terakhir kali mengendarai sepeda itu sekitar beberapa tahun yang lalu. Satu tahun? Dua tahun? Saya lupa kapan tepatnya. Mungkin sekitar satu atau dua tahun yang lalu.

Jadi ceritanya saya terlibat satu insiden yang menyebabkan saya kehilangan sepeda saya.  Oh iya, jangan bayangkan saya mengendarai sepeda bmx atau sepeda fixie dengan warna cute. Kemungkinan besar sepeda saya sepeda umum yang biasa saja. Mungkin… merknya wimcycle...(Saat mengetik merk sepeda, saya menahan impuls dalam diri saya untuk mengembik "heboooohhh" seperti mbek yang ada di iklan tv sepeda ini...... -_-)
Eh. Lagi-lagi, stibans gagal fokus. Back to the incident. Jadi ceritanya pada suatu hari minggu pagi yang cerah, isti bani pergi mengeluarkan sepedanya. Lalu mulai bersepeda sambil mendengarkan lagu dari ponsel melalui earphone. Dia berangkat dari rumahnya. Rutenya belum dia tentukan secara spesifik. Dia hanya bersepeda mengikuti arah angin… lalu tiba-tiba isti bani sudah sampai di daerah dipati ukur.

Kemudian, dari daftar putar yang disetel acak di ponsel stibans tiba-tiba diputar… lagu favorit masa itu. Kings of convenience – Mrs. Cold. Karena terlalu senang, saya sing along sambil bergaya.. melepas kedua tangan saya dari handle bar sepeda. Bernyanyi bersama Erlend Øye dan bergaya. Seolah-olah saya adalah bagian dari video clip... Kemudian BRAK. Saya menabrak mobil angkutan kota jurusan kalapa – dago yang tiba-tiba berhenti. Saya terjatuh cukup keras. Lutut bertemu aspal. Berdarah. Kemudian setelah kejadian tabrakan dengan angkot (hmm angkot banget ya bro), saya berusaha untuk tetap terlihat tenang dan berencana untuk melanjutkan perjalanan seolah-olah tidak terjadi apapun. Tapi, saat hendak mengayuh sepeda lagi ternyata eh ternyata bagian depan sepeda saya—yang menurut kang ichanoski namanya itu adalah fork—bengkok. Hm. Jadi saya… mengalami kesulitan mengayuh sepedanya. Akhirnya saya pulang sambil menuntun sepeda saya tersebut. Hm.. lututnya berdarah, tapi berusaha untuk tetap ada di jalan yang benar. (iya, kalau jalannya salah kan nanti nyasar ya……)

Kemudian, saya sampai rumah. Ada ibunda pulang dari pasar. Melihat saya menuntun sepeda saya, ibu berkomentar. Kemudian terjadi percakapan sekitar satu menit. Begini kira-kira.
Ibunda: ade, baru pulang main sepeda? 
Istibans: iya. Hehe.  
Ibunda: lututnya kenapa berdarah? Jatuh? 
Istibans: iya. Hehe. Nabrak angkot. 
Ibunda: oh.
Wah. Saya… terkejut ibunda menanggapi berita saya terjatuh karena menabrak angkot dengan sangat tenang. Biasanya ibunda panik. Jadi saya menarik nafas lega, kemudian mengobati luka saya. Dua minggu kemudian, lutut saya sudah kembali ke kondisinya yang prima. Saya berencana jalan-jalan lagi. Main sepeda. Kemudian saya pergi ke taman belakang, mengambil sepeda. Tapi ternyata…. Sepeda saya tidak ada di sana. Jadi saya mendatangi ibunda. Kemudian bertanya, “Ibu, sepeda ade mana?”
Lalu… ibunda, the first lady, dengan ekspresi lurus dan nada suara ringan menjawab, “dikilo~”

…………
…………
…………

Dan sampai sekarang, saya tidak pernah memiliki sepeda lagi. -_- jadi olahraganya dalam bentuk yang lebih realistis: berlari dikejar due date. Hore.

Sekian. -_-

Sunday 20 April 2014

Day 5. Arcana Major III: The Empress

"The mother is everything - she is our consolation in sorrow, our hope in misery, and our strength in weakness. She is the source of love, mercy, sympathy, and forgiveness. He who loses his mother loses a pure soul who blesses and guards him constantly." -- Kahlil Gibran

Neng Isye the First Lady is literally the best woman I know. She’s just…. Too…… Hm. Saya kesulitan menemukan kata yang tepat. Ibu saya terlalu apa ya? Terlalu baik? Kata itu pun sepertinya kurang tepat mendeskripsikan Neng Isye, cintaku. Cinta dalam hidupku. Bahahahaha.. betapa love of my life terdengar picisan dalam bahasa sendiri. Neng Isye itu perempuan cantik dengan tatapan jutek.. jutek tapi adiktif ih. Ampun~ Butuh bukti? Ini dia. Mahahahaha..
 
Neng Isye The First Lady
Neng Isye selalu mendahulukan kebutuhan dan kepentingan orang lain di atas kepentingannya sendiri. Jangankan orang terdekatnya seperti keluarga, kepada tetanggapun Neng Isye sayang. Neng Isye seperti matahari yang nggak takut kehabisan energi ketika membagi-bagikan kasih sayangnya tanpa pamrih buat orang-orang yang ada di konstelasi semestanya. Neng Isye adalah alasan kenapa ada lirik lagu, “hanya memberi tak harap kembali…”

Neng Isye itu. Hm. Neng Isye itu ibu yang kerap masuk ke kamar saya tanpa mengetuk, sekedar untuk memastikan saya masih bernafas. Sering kali ketika melihat saya sedang membaca buku, Neng Isye akan merajuk minta diceritakan isi bukunya. Ketika saya menolak, Neng Isye akan tidur di samping saya dan memeluk saya sampai saya berhenti membaca. Memberikannya atensi sepenuhnya, dan pada akhirnya kami akan tertawa bersama. Neng Isye juga keras kepala. Neng Isye sering kali memaksa untuk duduk menemani saya yang dikejar due date ini itu. Neng Isye akan duduk terkantuk-kantuk di sebelah saya yang menatap laptop. Melihat itu saya akan memegang perutnya yang empuk dan merayunya untuk beristirahat dengan nyaman di kamarnya dan mempercayakan due date ini itunya pada saya sendiri. Neng Isye juga kerap kali meminta saya untuk mengecilkan volume ketika saya sedang larut dengan distorsi Bapak. Tapi kemudian diam-diam tidur dengan backsound Sad But True. Lalu secara ajaib lagu latar tidurnya akan beralih ke lagu-lagu dari the cranberries atau kaki king yang biasa saya dengarkan sambil mengerjakan ini itu… atau… tiba-tiba mendengarkan postrock. Ibu saya suka el ten eleven. -_-

Selain itu.. apa yah. Neng Isye suka Dude Herlino. Hm. -_- selera ibu sih teorinya gitu, Dude Herlino. Tapi yakin deh waktu muda ibu cenderung jatuh cinta pada.. hm.. tipe.. siapa yah. Bucek Depp? Bahahahahaha. Duh kayaknya kalau Neng Isye tahu saya menulis ini, dia akan menjitak saya dan memotong jatah jeruk saya minggu depan.

Ah Neng Isye the First Lady… Saya kurang bisa menemukan kata yang tepat untuk mendeskripsikan Ibunda. Satu hal yang pasti, dia gravitasi saya. Dia adalah tulang punggung dan tulang rusuk saya.

Bima, Ibu, Bani. Segitiga Phytagoras.


Dibuat dengan lagu latar : the cranberries – animal instinct. on repeat.