Monday 26 May 2014

Day 14. Bilangan dan Sistem yang Berkelindan di Antaranya

Hari ini langit mendung, tapi nampaknya tidak akan turun hujan. Hm. Tipe cuaca romantis. Akan sangat menyenangkan jika bisa dihabiskan duduk di bangku taman dengan manusia yang hampir selalu bisa membuatmu tertawa. Tertawa karena hal sederhana, bahkan semi bodoh. Tapi di sini lah aku. Duduk di kamarku, sambil meniup satu sendok penuh nasi dan sayur kacang merah yang di masak ibuku agar cepat masuk kategori layak kunyah, supaya bisa meredakan konser keroncong di perutku.

Di sebelahku, duduk perempuan itu. Rambutnya ikal dibiarkan tergerai. Berantakan. Di telinganya, dia menyematkan setangkai bunga kamboja. Kenapa kamboja? Jangan tanya padaku. Aku juga tidak tahu pasti alasannya. Dan sejauh ini, aku tidak ada keinginan untuk bertanya padanya. Dia duduk sambil bersenandung lagu radiohead, 2 + 2 = 5.
“January has april showers, and two and two always makes a five. It’s the devil way now. There is no way out... You can scream and you can shout. It is too late now...”
Mendengarnya bernyanyi dengan suaranya yang aneh, aku berusaha untuk menahan tawaku. Mengapa? Karena aku sedang mengunyah makananku. Agak bahaya kalau aku harus menertawakan ke…. Keanehan perempuan itu. Jadi aku berusaha untuk tetap tenang. Berkonsentrasi pada makananku. Seolah bisa membaca pikiranku, perempuan itu berhenti bersenandung dan menatapku tajam. Aku menelan makanan yang ada di mulutku, kemudian membalas tatapannya.

Hening. Dia tak mengatakan apapun. Hanya menatapku. Akhirnya aku kembali menyendok nasi dan sayur kacang merahku. Namun kemudian dia memanggil namaku. Di suaranya, ada sebuah urgensi nyata. Aku kembali menatapnya.

“Dua tambah dua berapa?”, ujarnya serius.
Aku menghela nafas. “Empat.” Jawabku singkat.
“Kenapa kata radiohead lima?” dia kembali bertanya. Serius. Sangat.
“Hm.. mungkin Thom Yorke salah hitung.”, ujarku sekenanya.
“AH MASA. Dia joget kayak cacing kepanasan di…. Sesuatu yang judulnya flower. Masa nggak bisa hitung yang sesederhana 2 tambah 2?”
“Hm..”
Melihatku tak banyak memberi perhatian, dia nampak kesal kemudian menggeser pantatnya, duduk tepat di sebelahku.
“Oke. Ini serius. Satu tambah satu berapa?” dia menatapku. Matanya bulat.
Aku, tidak menjawab sampai nasi dan sayur di mangkukku habis. Minum segelas air putih, lalu menatapnya, “Dua.”
“Kenapa dua?”
“Dari SD, kata guru matematika 1 tambah 1 ya 2.”
“Pernah tanya kenapa jawabannya dua?”
“Nggak.”
“Kenapa nggak pernah tanya kenapa satu tambah satu sama dengan dua?”
“Karena memang dua.”
“Terus kamu setuju begitu saja, kalau satu tambah satu itu dua? Tanpa bertanya sebelumnya? Itu dogma namanya!”

Hah? Dogma? Ya ampun. Dia memicingkan matanya kemudian menatapku curiga. Mungkin di kepalanya terlintas teori konspirasi sesuatu, yang kalau menurut pendapatku, akan terlalu absurd untuk menjadi nyata. Setelah puas menatapku dengan tatapan curiga, dia membuka laptopku dan mengetik sesuatu. Ketika dia sibuk melakukan itu, aku pergi ke dapur dan menyeduh cangkir kopi keduaku untuk hari ini.

“Katanya, kenapa satu tambah satu sama dengan dua karena kita pake sistem bilangan desimal.” Aku mendengar dia berteriak dari kamarku. Suaranya bersahutan dengan denting sendok dan cangkir kopiku.
Aku masuk kembali ke kamarku, mendapati matanya berbinar. Kemudian dia berseru, “Karena apa, sekarang aku tahu!”
“Hah? Apa?”
“Kenapa dua. Karena kita menggunakan sistem bilangan desimal. Di mana di sistem itu, ada sepuluh angka yang diakui. Dari angka 0 sampai 9. Jadi 1 tambah 1 sama dengan 2 karena 2 nyata. Coba kalau kita menggunakan sistem bilangan biner di mana angka yang diakui nyata hanya 1 dan 0. Kalau menggunakan sistem biner, maka 1 tambah 1 sama dengan 10. Kenapa? Karena hanya dua angka itu yang nyata.”, dia menjelaskan panjang lebar. Berapi-api.
“Hah?” aku menatapnya tak percaya. Dia mencari tahu hal itu, lewat internet, selama aku menyeduh kopi? Dia ini kadang, kurang jelas ya.
“iiiiiiiiiiiiih dodol. Ini penting, kenapa jawabannya dua, karena dua tercatat di sistem, dan diakui. kalau dua nggak ada di sistem, nggak akan dua jawabannya. Paham nggak? Ngomong-ngomong, kenapa kita selalu diikat sistem sih?” Ujarnya kesal.
“Hm.. kopi ga?” aku menghiraukan hitungan, sistem dan bilangan yang secara tiba-tiba dia angkat menjadi topik percakapan sore yang seharusnya romantis ini.
“Nggak ah. Eh, kan berarti Thom Yorke, sistem bilangannya desimal juga, kan? Terus kenapa nggak 4?”
“Mungkin, manipulasi data?”, aku dengan sembarangan melempar asumsi.
Dia mengangguk-ngangguk. Mempertimbangkan asumsiku dengan serius. “Hm.. bisa jadi. Manipulasi. Penggembelembungan suara?”
“Penggelembungan suara apa?”
“Itu, suara pemilu.”
“Kenapa jadi pemilu?”
“Lagi ngetren.”
HM. Ngelantur. Dari topik A ke topik B. Loncat ke D. Kemudian roll depan ke topik M. Aku menyeruput kopiku, kasihan dia, terlalu lama aku acuhkan.
“Eh, katanya calon presiden X, anunya anu?” ujarnya bertanya lagi padaku. Dia tak kehilangan keseriusannya sejak tadi.
Aku tersedak kopiku. “Hah? Apanya?”
“Itu.”, ujarnya singkat, kemudian tertawa.

Sialan. Aku ikutan tertawa, menjitak kepalanya, kemudian berkata: “Di hidung kamu ada cat air tuh.”

p.s: dibuat dengan lagu latar kaki king - ..... until we felt red (album)
p.ss: maaf, aneh.
p.sss: ah, tolongin. nggak ingin diseret ketemu manusia dengan jas putih.

Monday 12 May 2014

Day 12. Celoteh Peri Robusta

“I like my coffee how I like myself. Dark, bitter, and too hot for you.” – anonymous.
Halo, random citizen. Apa kabar?
Kembali lagi bersama saya, peri robusta. Di hari ke 12 dari serial 30harimenulis alias #30daysofwriting. (and these past few days… I’m writing shits, apparently…………….. hm. Okay.)  Since I’m introducing myself using my alias… Peri robusta, and the sentence i quoted, maybe you all can be my guest and do the guessing what is this writing about.
Yep. It is about my…. Liquid of sanity. Coffee…..

Saya suka kopi. Selalu suka kopi. Saya lupa sejak kapan saya menyukai kopi. Hm yang saya ingat, dulu saya sering curi icip kopi ayah saya. Kopi tubruk. Kopi ayah saya pahit. Hitam. Dengan ampas tebal yang mengendap di dasar cangkir. Mungkin karena itu pula sekarang, kopi saya hitam. Pahit.

Saya suka kopi. Mungkin lebih spesifiknya, saya suka robusta. Selalu suka robusta. Kenapa saya suka robusta? Padahal… harganya lebih murah? Karena robusta pahit. Dia mengandung dua kali lebih banyak kafein daripada saudaranya, arabika. Dan bukankah tujuan kita (atau setidaknya saya) dalam mengonsumsi kopi adalah karena kadar kafeinnya?

Iya, saya suka robusta karena dia rasanya lebih pahit daripada arabika. Tanpa efek samping yang membuat kepala pening. Robusta juga lebih mudah tumbuh daripada arabika. Robusta juga lebih wangi. Menurut saya lebih wangi. Aromanya sederhana, seperti wangi tanah saat hujan. romantis.

Pernah coba double espresso robusta? Wah~ dia enak sekali. Luar biasa. Hmmmmm,  rasanya seperti….. Seperti kamu tiba-tiba melihat sesuatu yang terlalu aneh untuk jadi nyata. Meninggalkan after taste yang… sulit dilupakan~ bahahaha. Kemudian kamu akan sulit tertidur, mungkin sambil mengingat. Betapa aneh rasanya si double espresso robusta ini. kemudian kamu akan menerka.. “mungkin ini cinta.” Hahahahaha…….. capek. Kangen. 

cangkir virtual, untuk menampung rindu......
Kangen kopi. Kangen double espresso. Sudah sekitar 10 minggu saya nggak minum kopi kenceng. Kopi dengan kadar kafein nyata. Nyonya lambung sedang manja. Minta perhatian. Jadi sekarang saya harus berpuas diri dengan susu cokelat panas. Duh, jika Sherlock Holmes menempelkan 3 nicotine patch di pergelangan tangannya untuk menjaga kewarasan, sepertinya saya butuh 3 caffeine patch juga untuk ditempel di jidat saya. (caffeine patch yang bentuknya seperti koyo cabe~ ahaha)

Okay. Sepertinya celotehan ini akan semakin aneh. Jadi mari kita tutup dengan timbunan kata rindu. Kata rindu saya pada kopi robusta. HAAAAAAAAA
Satu lagi, lame pun klasik:
“isti bani, single ya?” 
“Hm. Nggak kok. Double. Double espresso~”
bye. (sorry for wasting your time, dearest random citizen) -_-


p.s : see you when I see you. Ketika kamu telah genap satu-per-empat, ketika bulan dan mars ada di satu rangkaian. :)
p.s.s: ditulis dengan lagu latar Giorgio tuma – My vocalese Fun Fair (album)