Monday 24 February 2014

Surat Kecil dan Some Kind of Monster

Bandung, 24 Februari 2014
Kamar Stibans.
20:04 WIB. 24' C

Bapak~ its been a while. Bapak apa kabar? Sehat? Cukup minum air putih? Makan sayuran? Makan jeruk? Tidur nyenyak? Saya menulis surat cinta ini sambil tersenyum meskipun tanpa kafein... sudah hmmm hampir dua minggu mungkin nggak diguyur kafein, kepalanya kering dan miring. Bapak, sekarang saya benar-benar berusia genap, 22 tahun. Dulu kan di sini sempat menulis sesuatu yang absurd soal usia. Sekarang juga mau menulis surat absurd sih. Tapi sekarang kepalanya agak ribut, karena itu juga jadi ingin cerita sama Bapak. Ingin menulis. Kalau kata Om Derrida gini: “I would like to write you, so simply. So simply. So simply. Without having anything ever catch the eye. Excepting yours alone. So that above all the language remains self evidently secret. As if it were being inventent at every step, and as if it were burning immediately.” Cie gitu ya, Pak. Mahahaha..

Mari mulai.. Jadi gini… Seminggu terakhir ini mulai PLA alias magang di LAPAS anak Sukamiskin. Iya, saya apply magang di P2TP2A, di kantor impian yang sering saya ceritain ke Bapak sebelum tidur itu.. tapi ternyata ditolak sama ibunda Sri Maslihah, kemudian ditempatkan di sana, di LAPAS anak ini. Saya baru seminggu di sana, dan mendengarkan cerita dan kasus dari sudut pandang mereka, dan itu cukup bikin saya sangat bersyukur sama semesta saya. Ha…. Magang di sana, bikin saya makin sering inget Bapak. Serius deh. Inget konser sama video klip St. Anger yang berlatar di lapas San Quentin itu loh. Mau histeris cerita dari A sampai Z tapi nanti Bapak pasti ngomong, “Kalem, neng. Ceritanya satu-satu.” Atau mungkin Bapak bakal menatap sambil menahan tawa kemudian bilang, “Kamu cerita hal-hal ini memang nggak melanggar kode etik profesi?” Terus nanti saya jadi bingung sendiri, garuk-garuk kepala terus akhirnya cerita yang umum-umum.

Yang umum, misalnya: suasana di sana. Petugasnya baik-baik kok. Hm iya baik. Anak didik LAPASnya juga baik. Saya dan temen-temen yang magang di sana diberi akses untuk melakukan hal-hal. Cuma kadang nih, saya harus menahan impuls untuk protes karena most of them memandang perempuan, memandang saya sebagai objek. Terus saya ingin…. Hm….. Krik. Pokoknya sisi itu saya semacam… dites rentangnya segimana. Bapak, jangan ketawa -_-

Mungkin Bapak harus kasih sedikit wejangan sama mereka---sama andikpas alias anak didik LAPAS---soal perkara ini itu. Supaya mereka belajar juga, kalau mereka nggak mungkin nyasar, kalau mereka nggak tau tujuannya apa. Supaya mereka menerima dan memaafkan hal-hal. Supaya mereka yakin, kalau mereka tetap punya kuasa atas semesta yang mereka jalani. Karena mereka adalah aktor utama dalam drama kehidupan yang mereka pilih, bukan sekedar reaktor terhadap insting atau tekanan lingkungan. Mereka bukan sekedar korban keadaan: terlepas dari bagaimanapun kondisi keluarga dan lingkungan sosial di mana mereka tinggal. Mereka punya pena di tangan mereka, dan terserah mereka mau menulis apa. Mungkin Bapak harus meraung dalam iringan distorsi gitar, dan meyakinkan mereka, kalau mereka punya opsi. Selalu punya opsi. (tiba-tiba jadi humanis) (tapi gimana lagi) (bentar, nafas dulu) (apa yah ini? Nggak ngerti lagi).

Oke, sekian dulu cerita singkat dari LAPAS anak Sukamiskin. Soalnya baru satu minggu juga kan…  jadi data yang saya punya masih sekedar hasil observasi umum yang belum mendalam. Hm. Sekarang saya mau cerita sama Bapak apa yang terjadi akhir-akhir ini.

Pertama: Nilai seminar psikologi klinis sudah keluar. Nilainya di luar perkiraan. Alhamdulillah nggak usah sidang ulang, tapi perkara tawaf judul skripsi masih harus terus dijalani. Ah, dan saya makin sayang Ibunda Sri.

Ke dua: Abim punya pacar baru. Pacar Abim itu perempuan sarjana psikologi yang zodiaknya aquarius juga… Perkembangan dia juga kadang bikin saya khawatir. Perempuan macam apa yang akan bisa dan akan mau menemani dia belajar? -_- (tapi mungkin kemudian abim juga kadang ada di posisi saya, mengkhawatirkan dan wondering.)

Ke tiga: Kemarin pas duduk di masjid LAPAS, laki-laki berkromosom xy penyumbang setengah kromosom nelpon saya. Katanya selamat ulang tahun. Menelepon setelah telat empat hari, tapi saya nggak terlalu peduli juga sih sama ulang tahun. Lalu dia menanyakan hal-hal yang masuk kategori basa-basi. Mungkin ada 4 kalimat. Terus terpikir, dulu dia terbiasa dengan sistem yang ada di intansi ini. Di tempat saya terdampar dan belajar sekarang. What a coincidence. Semesta dan talinya kadang memang lucu dan bekerja dengan cara yang melampaui pemahaman manusia ya. (Apa manusianya yang menolak paham?)

Ke empat: kemarin hari jumat sore jatuh. Bukan jatuh cinta, tapi jatuh beneran. Hm... mungkin ngelamun. Iya, maap. Nanti akan lebih hati-hati. Nggak cedera segimana juga. Hanya saja, mungkin sudah bisa Bapak duga: Ibunda, Neng Isye the First Lady panik minta ampun. Ah ibunda, sebagai perempuan dan sebagai ibu memang posesif, dan keposesifannya nyata. Masih memperlakukan saya seolah saya ini balita.Tadi aja pulang kerja ibunda bawa dua permen loli pop untuk saya. Harus apa coba, Pak? Selain peluk dan sesekali gelantungan di Ibunda sambil bilang: “he, mau masuk perut ibu lagi, mau berenang di rahim.” -_- Perhatian ibu sederhana dan manis, mungkin dulu waktu masih kuliah ibunda digandrungi dede-dede gemes yah? Juniornya mungkin berlomba buat mencuri perhatian ibu. Perempuan dengan rambut ikal yang menatap dengan tegas namun lembut dan pengertian. Perempuan miniatur semesta dan semua misteri yang berkelindan di antaranya. Ah Ibu.

Ke lima: hm. Pak, yang itu. Hm.. salah. Ada yang salah. Itunya salah. Kayaknya. Iya salah, dan iya kemudian menarik garis. Tapi kadang-kadang kalau lagi duduk di bus, perjalanan dari rumah menuju Sukamiskin, suka kepikiran. Apa nggak apa-apa? Apa ada di kondisi yang baik? Kayaknya mungkin akan selalu di antara itu yah. Hm. Apa ini efek saya ada di kategori tipologi INTJ? Jadi sulit menahan impuls untuk tetap observasi? (terus nanti Bapak komentar, “ah INTJ apa, neng. Itu mah, kamunya aja… iseng dan susah nahan curiosity, yang katanya kill the cat.”)

Baiklah. Sekian. Kangen. Harus ngomong nggak? Tapi kayaknya Bapak juga tau yah kalau saya kangen Bapak. Jadi nggak ingin gombal bilang ini itu ini itu yang Bapak udah tau. Buat apa? Bingung juga ngomongnya gimana. Eh Pak, ngomong-ngomong, perempuan yang berjalan sambil tertawa dengan saya di bawah sinar bulan purnama kemarin suka kepikiran rambut Om Lars :))))))) bahahaha. Suruh potong rambut juga, biar ganteng. Supaya songong tipikalnya nggak tenggelam. 

Selamat tidur nyenyak, Bapak. Selamat menuju tanggal 25~ Semoga Bapak dan geng bromance-nya selalu ada dalam lindungan Dia yang Maha menggenggem semesta dan mengikat tali konstelasi yang kita pijak ini di antara jemariNya. 

p.s: diunggah dengan lagu latar the cranberries - never grow old. Bapak, jangan tua. mari! #menolaktua sama saya........ hm............
p.ss: Pak, seri #aquariusdanpohon udah selesai, saya bikin seri apalagi yah..
p.sss: Bapak suka bintang? mungkin suka yah. (Asumsi). Eh tapi mungkin beneran suka, makanya bikin lagu judulnya orion, yang nggak pernah gagal mengantar saya tidur. Haa... Tidur....

Saturday 8 February 2014

Gejala

Day 14. Seri Aquarius dan Pohon.

Aku menatapnya. Dia balik menatapku, dingin. Tatapan matanya hampir selalu seperti itu. Kadang ada kerling, atau ada riak. Dan kadang… dingin. Seperti sekarang. Dia terluka. Aku tahu itu. Dan diamnya menjadi pemantik bagiku untuk merenung, kejadian apa yang menimpanya. Siapa yang membuatnya kembali menerjang badai. Siapa lagi yang menggodanya untuk terjun dari pesawat dan memotong tali parasutnya?

Aku mengenalnya terlalu lama. Aku mengetahui hampir semua hal tentangnya. Warna kesukaannya, kenapa dia selalu menggambar hal yang sama, apa yang dia benci, apa yang membuatnya tertawa, atau alasannya kenapa dia menyimpan struk-struk belanja, atau bungkus permen yang kuanggap tak penting. Aku mengenalnya terlalu lama. Terlalu sering melihatnya, terlalu sering mendengar tawanya. Sampai aku bosan dan ingin meninggalkannya. Namun tak bisa. Aku terikat, dan dia.. memang mengikat. Mungkin kadang dia tak sadar kalau dia mengikat beberapa simpul. Entah sudah berapa yang terpaksa dia seret. Terseok-seok di antara langkah kakinya yang kecil. Terseok, diseret… sampai akhirnya temali yang terikat dan mengikat itu tak tahan dan putus sendiri. Karena waktu. Atau karena gesekkan antara temali dan aspal yang dia pijak.

Dia sering jatuh. Bagaimana tidak? Dengan semua temali yang mengikat dan terikat di kakinya, banyak posibilitas dia jatuh. Jatuh dalam berbagai skenario dan pose. Dari jatuh yang nampak elegan, sampai jatuh yang konyol. Mengingat kecerobohannya yang ada di batas wajar, aku tersenyum. Melihat bibirku tersenyum kecil, keningnya langsung berkerut. Menuduhku macam-macam. Aku. A. B. C. D. Dia menatapku, penuh selidik. Dia bertanya tanpa kata. Dan aku diam saja. Menatapnya. Dalam hati aku berhitung, berapa lama dia akan mampu menahan diri sebelum melempar pertanyaannya secara nyata padaku.

Melihatku diam, dia memalingkan wajahnya. Dia tetap dingin, tapi ku tahu pasti dia kesal. Kesal karena aku tak buru-buru mengungkapkan pikiranku, isi kepalaku padanya. Dan kesal karena dia merasa aku seharusnya tahu apa yang ingin dia ketahui tanpa harus dia lempar pertanyaannya secara nyata. Ah, dia itu memang selalu ingin tahu apa yang terjadi di dalam sana. Dia hampir selalu ingin tahu hal-hal seperti itu. Yang menurutku kecil dan tak penting. Mungkin dia pikir, semuanya ada motifnya. Ada alasan di balik setiap perlakuan. Dan dia ingin mengetahui alasan-alasan tersebut. Jika kamu melempar pertanyaan kepadanya, mengapa dia ingin tahu, mungkin dia akan menjawab, dengan sederhana: karena ingin. Hanya karena ingin.

Lalu kamu akan menganggapnya egois karena hal itu. Mengobrak-ngabrik sebuah ruangan di dalam diri seseorang, hanya karena dia ingin tahu.  Ya, aku tahu kamu akan berpikir seperti itu karena aku juga pernah ada di fase itu. Aku merasa bahwa dia hanya ingin membacaku. Dia hanya memperlakukanku seolah aku ini pamphlet yang dibagikan di jalan. Dia akan membacanya, kemudian selesai informasinya dia serap, dia akan membuangnya ke tempat sampah. Paling bagus mungkin pamphlet itu akan dia simpan di dalam dompetnya. Atau mungkin jika terlalu menyukai pamphlet itu, akan dia akan menggambar sesuatu di atasnya, kemudian dia jadikan pembatas buku yang sedang di bacanya.  Membiarkannya tersesat di hutan aksara, seperti dirinya.

Namun sampai saat ini, setelah melalui fase-fase itu. terikat, jatuh, sakit, merasa dibaca, bosan, lelah, ingin pergi, tapi ternyata aku tetap menatapnya. Tetap ada di sana, Menatap dia yang tersesat dalam pencarian gejala yang hampir selalu dia tolak untuk terima. Namun kemudian kembali dia perhitungkan. Dia yang berusaha selalu menghitung posibilitas dan gejala dalam jelaga yang tak utuh. Selalu tak utuh.