Saturday 8 February 2014

Gejala

Day 14. Seri Aquarius dan Pohon.

Aku menatapnya. Dia balik menatapku, dingin. Tatapan matanya hampir selalu seperti itu. Kadang ada kerling, atau ada riak. Dan kadang… dingin. Seperti sekarang. Dia terluka. Aku tahu itu. Dan diamnya menjadi pemantik bagiku untuk merenung, kejadian apa yang menimpanya. Siapa yang membuatnya kembali menerjang badai. Siapa lagi yang menggodanya untuk terjun dari pesawat dan memotong tali parasutnya?

Aku mengenalnya terlalu lama. Aku mengetahui hampir semua hal tentangnya. Warna kesukaannya, kenapa dia selalu menggambar hal yang sama, apa yang dia benci, apa yang membuatnya tertawa, atau alasannya kenapa dia menyimpan struk-struk belanja, atau bungkus permen yang kuanggap tak penting. Aku mengenalnya terlalu lama. Terlalu sering melihatnya, terlalu sering mendengar tawanya. Sampai aku bosan dan ingin meninggalkannya. Namun tak bisa. Aku terikat, dan dia.. memang mengikat. Mungkin kadang dia tak sadar kalau dia mengikat beberapa simpul. Entah sudah berapa yang terpaksa dia seret. Terseok-seok di antara langkah kakinya yang kecil. Terseok, diseret… sampai akhirnya temali yang terikat dan mengikat itu tak tahan dan putus sendiri. Karena waktu. Atau karena gesekkan antara temali dan aspal yang dia pijak.

Dia sering jatuh. Bagaimana tidak? Dengan semua temali yang mengikat dan terikat di kakinya, banyak posibilitas dia jatuh. Jatuh dalam berbagai skenario dan pose. Dari jatuh yang nampak elegan, sampai jatuh yang konyol. Mengingat kecerobohannya yang ada di batas wajar, aku tersenyum. Melihat bibirku tersenyum kecil, keningnya langsung berkerut. Menuduhku macam-macam. Aku. A. B. C. D. Dia menatapku, penuh selidik. Dia bertanya tanpa kata. Dan aku diam saja. Menatapnya. Dalam hati aku berhitung, berapa lama dia akan mampu menahan diri sebelum melempar pertanyaannya secara nyata padaku.

Melihatku diam, dia memalingkan wajahnya. Dia tetap dingin, tapi ku tahu pasti dia kesal. Kesal karena aku tak buru-buru mengungkapkan pikiranku, isi kepalaku padanya. Dan kesal karena dia merasa aku seharusnya tahu apa yang ingin dia ketahui tanpa harus dia lempar pertanyaannya secara nyata. Ah, dia itu memang selalu ingin tahu apa yang terjadi di dalam sana. Dia hampir selalu ingin tahu hal-hal seperti itu. Yang menurutku kecil dan tak penting. Mungkin dia pikir, semuanya ada motifnya. Ada alasan di balik setiap perlakuan. Dan dia ingin mengetahui alasan-alasan tersebut. Jika kamu melempar pertanyaan kepadanya, mengapa dia ingin tahu, mungkin dia akan menjawab, dengan sederhana: karena ingin. Hanya karena ingin.

Lalu kamu akan menganggapnya egois karena hal itu. Mengobrak-ngabrik sebuah ruangan di dalam diri seseorang, hanya karena dia ingin tahu.  Ya, aku tahu kamu akan berpikir seperti itu karena aku juga pernah ada di fase itu. Aku merasa bahwa dia hanya ingin membacaku. Dia hanya memperlakukanku seolah aku ini pamphlet yang dibagikan di jalan. Dia akan membacanya, kemudian selesai informasinya dia serap, dia akan membuangnya ke tempat sampah. Paling bagus mungkin pamphlet itu akan dia simpan di dalam dompetnya. Atau mungkin jika terlalu menyukai pamphlet itu, akan dia akan menggambar sesuatu di atasnya, kemudian dia jadikan pembatas buku yang sedang di bacanya.  Membiarkannya tersesat di hutan aksara, seperti dirinya.

Namun sampai saat ini, setelah melalui fase-fase itu. terikat, jatuh, sakit, merasa dibaca, bosan, lelah, ingin pergi, tapi ternyata aku tetap menatapnya. Tetap ada di sana, Menatap dia yang tersesat dalam pencarian gejala yang hampir selalu dia tolak untuk terima. Namun kemudian kembali dia perhitungkan. Dia yang berusaha selalu menghitung posibilitas dan gejala dalam jelaga yang tak utuh. Selalu tak utuh.

No comments:

Post a Comment