Day 14. Seri Aquarius dan Pohon. |
Aku menatapnya. Dia balik
menatapku, dingin. Tatapan matanya hampir selalu seperti itu. Kadang ada
kerling, atau ada riak. Dan kadang… dingin. Seperti sekarang. Dia terluka. Aku tahu itu. Dan diamnya menjadi pemantik bagiku untuk merenung, kejadian apa yang menimpanya. Siapa yang membuatnya kembali menerjang badai. Siapa lagi yang menggodanya untuk terjun dari pesawat dan memotong tali parasutnya?
Aku mengenalnya terlalu lama. Aku mengetahui hampir semua hal tentangnya. Warna kesukaannya, kenapa dia selalu menggambar hal yang sama, apa yang dia benci, apa yang membuatnya tertawa, atau alasannya kenapa dia menyimpan struk-struk belanja, atau bungkus permen yang kuanggap tak penting. Aku mengenalnya terlalu lama. Terlalu sering melihatnya, terlalu sering mendengar tawanya. Sampai aku bosan dan ingin meninggalkannya. Namun
tak bisa. Aku terikat, dan dia.. memang mengikat. Mungkin kadang dia tak sadar
kalau dia mengikat beberapa simpul. Entah sudah berapa yang terpaksa dia seret.
Terseok-seok di antara langkah kakinya yang kecil. Terseok, diseret… sampai
akhirnya temali yang terikat dan mengikat itu tak tahan dan putus sendiri. Karena
waktu. Atau karena gesekkan antara temali dan aspal yang dia pijak.
Dia sering jatuh. Bagaimana
tidak? Dengan semua temali yang mengikat dan terikat di kakinya, banyak
posibilitas dia jatuh. Jatuh dalam berbagai skenario dan pose. Dari jatuh yang
nampak elegan, sampai jatuh yang konyol. Mengingat kecerobohannya yang ada di
batas wajar, aku tersenyum. Melihat bibirku tersenyum kecil,
keningnya langsung berkerut. Menuduhku macam-macam. Aku. A. B. C. D. Dia
menatapku, penuh selidik. Dia bertanya tanpa kata. Dan aku diam saja. Menatapnya.
Dalam hati aku berhitung, berapa lama dia akan mampu menahan diri sebelum
melempar pertanyaannya secara nyata padaku.
Melihatku diam, dia memalingkan
wajahnya. Dia tetap dingin, tapi ku tahu pasti dia kesal. Kesal karena aku tak
buru-buru mengungkapkan pikiranku, isi kepalaku padanya. Dan kesal karena dia
merasa aku seharusnya tahu apa yang ingin dia ketahui tanpa harus dia lempar
pertanyaannya secara nyata. Ah, dia itu memang selalu ingin
tahu apa yang terjadi di dalam sana. Dia hampir selalu ingin tahu hal-hal
seperti itu. Yang menurutku kecil dan tak penting. Mungkin dia pikir, semuanya
ada motifnya. Ada alasan di balik setiap perlakuan. Dan dia ingin mengetahui alasan-alasan
tersebut. Jika kamu melempar pertanyaan kepadanya, mengapa dia ingin tahu,
mungkin dia akan menjawab, dengan sederhana: karena ingin. Hanya karena ingin.
Lalu kamu akan menganggapnya
egois karena hal itu. Mengobrak-ngabrik sebuah ruangan di dalam diri seseorang,
hanya karena dia ingin tahu. Ya, aku
tahu kamu akan berpikir seperti itu karena aku juga pernah ada di fase itu. Aku
merasa bahwa dia hanya ingin membacaku. Dia hanya memperlakukanku seolah aku
ini pamphlet yang dibagikan di jalan. Dia akan membacanya, kemudian selesai informasinya
dia serap, dia akan membuangnya ke tempat sampah. Paling bagus mungkin pamphlet
itu akan dia simpan di dalam dompetnya. Atau mungkin jika terlalu menyukai pamphlet
itu, akan dia akan menggambar sesuatu di atasnya, kemudian dia jadikan pembatas
buku yang sedang di bacanya. Membiarkannya
tersesat di hutan aksara, seperti dirinya.
Namun sampai saat ini, setelah melalui fase-fase itu. terikat, jatuh, sakit, merasa dibaca, bosan, lelah, ingin pergi, tapi ternyata aku tetap menatapnya. Tetap ada di sana, Menatap dia yang tersesat dalam pencarian gejala yang hampir selalu dia tolak untuk terima. Namun kemudian kembali dia perhitungkan. Dia yang berusaha selalu menghitung posibilitas dan gejala dalam jelaga yang tak utuh. Selalu tak utuh.
No comments:
Post a Comment