Bandung, 12 November 2013
Gedung FIP UPI. 3.18
07:34 WIB. 27°C. Cerah Berawan
Warna kerudung: Hitam
Halo,
Random Citizen.Apakabar? :)
Saya menulis ini selama kelas PSP (Penyusunan Skala
Psikologi). Alih-alih menyimak ceramah Bapak dosen mengenai skala likert, saya
malah memutuskan untuk berselingkuh.Tepatnya, Berselingkuh dengan rusuh dan
temali yang mengikat kepala saya sejak dini hari pukul 01.07 WIIB. Rusuh di kepala saya adalah buah dari pesan instan via
messenger kekinian yang dikirim oleh Ichan. Karena pesan instan itu,
mulailah terjadi… kerusuhan., kerusuhan akibat saya memikirkan sex. Saya jadi gelisah,
mendadak merasa gelisah.
Pertama, iznkan saya untuk bertanya kepada kamu, random citizen: Apa
yang pertama kali terlintas di kepala kamu ketika mendengar kata ‘sex’? Apakah
yang terlintas adalah kata sifat? Kata benda? Atau kata
kerja?
Mungkin—maafkan dan kembali izinkan saya untuk mengambil asumsi secara
serampangan—presentase terbesar yang terlintas pertama kali di kepala kamu
saat mendengar kata sex adalah sebuah kata kerja, sebentuk aktivitas, bukan
sekadar organ tubuh manusia. Bukan sekadar perkara genital, apalagi sekadar perkara selangkangan.Namun, sesuatu yang lebih dari itu, Yin dan Yang,
Anima dan Animus.
Baiklah, karena itu saya akan mengajak kamu, random citizen, untuk
bertamasya ke sebuah segitiga ternama, Segitiga Hierarki Kebutuhan Maslow. Ada
lima tahap hierarki dalam segitiga Maslow yang kemudian direvisi—kalau tidak
salah pada tahun 1970—menjadi delapan tahap hierarki. Tapi, kita akan tamasya
ke segitiga yang klasik. Hierarki dari lima tahapan tersebut adalah sebagai
berikut: fisiologis, safety, belongingness, self esteem dan aktualisasi
diri. Ah saya benci hierarki. Namun menurut saya, perkara seks ini—aktivitas
seksual—memenuhi semua tahap dari 5 hierarki kebutuhan Maslow.
Pertama. Sangat nyata: sex, aktivitas seksual adalah hasrat manusia yang paling
mendasar. Hasrat hewani. Sebuah bentuk pertahanan diri: berkembang biak.
Mempertahankan rasnya, ras humani agar tetap ada di muka bumi.
Kemudian yang kedua, safety alias keamanan.Saya percaya jika orang
berani melepas semua keresahan mereka dan dengan rela hati telanjang, membuka
semua topeng yang menutupi diri lalu bersama-sama melebur, berfusi dengan tubuh
lain, individu lain, keresahan lain, dan ketakutan lain,akanmelahirkan rasa
aman yang luar biasa.
Ketakutan yang baru disadari manusia pasca Hawa atau Eve tergoda untuk
mencicipi buah terlarang, buah Khuldi, buah pengetahuan.Karena buah ini,
manusia jadi menyadari kalau mereka telanjang.Matanya terbuka pada keresahan,
ketakutan, kekurangan dan kelebihan mereka. Walhasil, manusia menutupi diri. Ah
Eve. Hawa.
Yang ketiga: belongingness. Perasaan—atau ilusi?—menyalurkan dan
disalurkan afeksi. Belongingness itu
ketika kamu merasa berani untuk meruntuhkan semua pertahanan karena merasa
memiliki seseorang, ketika kamu merasa memiliki dan pada akhirnya merasa cukup
lalu rela menjadikan dan dijadikan selimut kulit oleh individu lain di bawah
terang bulan. Belongingness juga mencakupkeberanianmu berbagi keresahan itu dan
berfusi, merasakan peleburan tanpa khawatir kehilangan diri selama prosesnya.
Belongingness pun berarti ketika kamu merasa berada di tempat yang
seharusnya.Dan, pada akhirnya, kamu
merasa kamu utuh.Kamu kosong, namun utuh.
Kemudian, hadir lagi fakta bahwa perasaan melebur itu bukan hanya menghilangkan
keresahan kamu-- meskipun mungkin sifatnya hanya sementara--, tapi juga melahirkan perasaan lain: rasa puas.
Excitement.Excite merangkum bagaimana kamu merasa memuaskan dan dipuaskan.Pada
akhirnya perasaan itu meningkatkan self esteematau harga dirimu.
Yang terakhir, dalam kondisi sekosong apapun, kamu merasa utuh, cukup, lagi
penuh. Rasa Penuh ini yang mendorongmu merasa berhasil mengaktualisasikan diri
dan menjadi manusia sepenuhnya.
Aktivitas seksual berhasil memenuhi lima tahap hierarki kebutuhan klasik yang
dibuat oleh Maslow. Namun ternyata riuh dan resah yang ada di kepala saya tidak
selesai di sini. Saya terusik dengan kata yang saya tulis sendiri di kebutuhan
ke empat,self esteem. Harga Diri. Ah betapa manusia bisa kerap resah.
Walhasil, dini hari pukul 01.28 WIB, saya mengirim pesan singkat dengan isi
serupa pad dua orang berbeda. Yang pertama, sahabat perempuan saya dengan
inisial P dan yang kedua, seorang senior laki-laki dengan inisial M. Saya
mengirimi mereka pesan singkat dengan tujuan mulia: meredakan keresahan dan
distorsi yang ada di kepala saya sendiri. Bhuahahaha.
Begini
cuplikannya:
X: Gak ngerti. Kalau Perempuan boleh, bisa, dan sah-sah aja dijadiin objek seksual tanpa ditanya dulu persetujuannya, apa laki-laki juga mau, boleh, bisa, dan sah-sah aja dijadiin objek seksual? (Kalau dijadiin kesepakatan kolektif memang mau jadi objek?)
P: Untuk budaya tertentu sih bisa aja. Cuma ngga banyak diekspos aja. Soalnya stereotip sosial cowo itu jadi subjek, bukan objek.Ya nyambung ke peran gender.Kesannya cowo lemah dan ga punya kuasa kalau dijadiin objek seksual.Padahal banyak, apalagi cowo yang lebih muda dari cewenya (Setau aku). Korban pelecehan seksual cowo sama cewe jarang diangkat paling cowo sama cowo.
(di
sini, saya sempat merasa enggan membahas gender karena akan erat kaitannya dengan
nilai agama dan budaya hingga bahasannya akan berubah menjadi… krik krik krik)
X: Ah… Penis sombong yah.
P: Iya, karena banyak orang-orang jenius cowo sih. Feminis kaya mati. Jaga pride sih cowo yang dijadiin objek seksual kebanyakan pada diem karena mungkin menganggap itu paksaan yang penuh kenikmatan. Ah penis susah bohong sih. Terlalu reaktif.
(Apa?
Feminis kayak mati? Kepala saya menolak argumen ini. Kemudian pada akhirnya
mulai mengetik balasan pesan singkat itu….)
X: ITU! Penis susah bohong. Horny aja pengumuman :)))))))))))))). Banyak perempuan pinter kok dari dulu. Mungkin sekarang feminis dipandang jelek karena dianggap menuntut perempuan > laki-laki, bukannya perempuan = laki-laki. Tapi kalaupun iya, sebagian ingin >, bukankah itu hanya manifestasi atau reaksi dari rasa frustasi setelah entah dari zaman kapan perempuan selalu dijadiin objek, alat, media, bukannya dijadiin pendamping atau rekan yang setara.
P: Si penis wawar bari balaga = mentang-mentang punya sejuta sperma, jadi riya.
(Haha…
saya senyum sendiri mengakhiri percakapan dan beralih pada senior saya. M.
Begini percakapannya…)
X: Gak ngerti. Kalau Perempuan boleh, bisa, dan sah-sah aja dijadiin objek seksual tanpa ditanya dulu persetujuannya, apa laki-laki juga mau, boleh, bisa, dan sah-sah aja dijadiin objek sekusal? (Kalau dijadiin kesepakatan kolektif memang mau jadi objek?)
M: Hm… Ngga tau.Mungkin bisa.
(Krik.Krik.Krik.)
Dini hari pasca menerima pesan singkat balasan dari M—yang
begitu nyata singkatnya—,saya tertidur atau tepatnya memutuskan untuk
tidur.Saya meninggalkan sahabat saya yang kemungkinan terus memikirkan betapa
si penis jaga pride lalu a, b, c, d dan e.
Pagi hari, ketika saya bersiap-siap untuk pergi ke kampus, menghadiri kelas
PSP—yang kemudian saya isi dengan perselingkuhan :|—saya berpikir “wajar saja
jika senior saya, M, tidak berkomentar banyak mengenai laki-laki sebagai objek
seksual karena M adalah laki-laki”. Jadi, premis yang terlintas di kepala saya
adalah: “Oh M, yang notabene pria, posibilitas memandang penis sebagai objek
seks kecil. Mana mau atau mana bisa dia berfantasi soal……..”. Begitulah, premis
pertama saya berhenti di sana. Kemudian saya malah memikirkan sebuah fakta umum
yang akan disepakati masyarakat Bandung: lampu merah Pasteur lamanya minta
ampun :|
Lantas ketika saya berjalan kaki meniti tangga menuju ruang kelas ini, FIP
3.18, tiba-tiba hadir premis lain di kepala saya. Premis yang kedua mengenai
balasan pesan singkat M yang betulan
singkat: “Tapi bukankah fakta bahwa M yang mengaku ‘ga tau, mungkin bisa’
mengenai perkara laki-laki sebagai objek seks ini agak rancu? Maksud saya…
bukankah seharusnya pernyataan paling reliable mengenai laki-laki—atau
spesifiknya: penis—sebagai objek seks datangnya dari laki-laki? Kan secara
statistik, laki-laki lebih sering bermain dengan penis(nya)? Menjadikannya
sebagai objek untuk memperoleh kepuasan. Iya kan? Iya nggak? Secara statistik
loh….”
Kemudian premis kedua saya berhenti lagi-lagi begitu saja. Sahabat saya, P,
terlambat masuk kelas. Dipilihnya tempat duduk di sebelah saya dan kami
melanjutkan diskusi dini hari hingga sampai ke konklusi: sudut pandang kami
relatif sama.
Saya seorang perempuan. P juga seorang perempuan.Apa yang saya cari? Apa yang saya inginkan?Saya ingin kesetaraan, dimana kedua belah pihak tidak menggunakan kekuatan baik fisik maupun psikis untuk mendominasi, dimana kedua belah pihak memiliki porsi, tanggung jawab, dan hak yang seimbang.Kesetaraan dimana kedua belah pihak sepakat untuk saling menghormati, saling memanusiakan, memanusiakan manusia. Karena manusia itu pelupa, maka mari saling mengingatkan.
“Tidak tahukah kamu, bahwa racun paling berbahaya itu adalah
lupa?”
p.s: ini versi x setelah disunting oleh kangmas manan, dia yang ada di belakang primitifzine. :D
p.ss: versi asli sempat mejeng di paperzine #12: Seksualitas dan Kita.
p.sss: diunggah dengan lagu latar: noah and the whale - two atoms in a molecule.