Thursday 26 June 2014

Catatan Hati Seorang Isti

Halo, random citizen.
Assalamualaikum warrahmatullahi wabarakaatuh.
Apa kabar semuanyaaaaaaaaaa~

Semoga selalu dalam lindungan Dia yang Maha menggenggam semesta di antara jemariNya, yang memungkinkan kita untuk mengagumi dan memandangi bintang-bintang yang bergerak di kumparan konstelasi tanpa bertabrakan sebelum waktunya.

Kali ini, saya akan bercerita. Saya ingin menulis  dengan misi untuk menjaga  kesehatan mental saya. Saya menulis ini dalam kondisi… hm kurang baik. Saya sedang mencoba untuk melakukan regulasi emosi. Jadi kalau susunan kalimatnya kurang baik… atau lebih berantakan dari biasanya, mohon dimaklumi ya -_-

Akhir-akhir ini emosi saya naik-turun, kadang tanpa bisa saya kendalikan. Salah satu faktor penyebabnya adalah kebiasaan Ibu saya menonton sebuah sinetron yang menurut saya sama sekali tidak baik untuk kesehatan. Hm. Ibu saya memang penggemar sinetron. Kerap kali saya mengingatkan beliau bahwa menonton sinetron membuat kapasitas kotak emosi mengecil, namun Ibu saya enggan mendengarkan saya. Menurutnya, sinetron adalah satu-satunya hiburan yang mudah beliau akses setelah lelah seharian bekerja. Baiklah. Mendengar itu, saya tidak bisa menggugat lebih jauh karena fakta, bahwa:
1) iya, Ibu saya lelah bekerja seharian.
2) yang membayar tagihan listrik di rumah saya adalah beliau. Jadi, Ibunda memiliki hak politik untuk menyalakan tv dan menonton apapun yang beliau inginkan.

Begini kronologisnya, Ibu saya biasa menyalakan tv sejak pukul 19.00 WIB sampai dengan pukul 22.00 WIB. Di antara waktu itu, Ibu biasa menonton berita capres (-_- ini saja sudah cukup membosankan, ayolah, ini pesta demokrasi rakyat yang mana?) dan menonton sinetron Catatan Hati Seorang Istri, kemudian disambung Tukang Bubur Naik Haji. Otomatis, kamar saya yang bersebelahan dengan ruangan tv tempat Ibu biasa menonton tv kebagian audionya. Saya bisa mendengar dengan jelas suara-suara dari TV. Saya bisa mendengar dialog sinetron itu. Jujur saja, mendengar dialognya yang luar biasa klise, membuat saya ingin menembak kepala orang yang menulis skenarionya. Menembak sebuah katapel beramunisi kacang atom. Karena mungkin dengan begitu otak kecil yang ada di belakang tempurung kepalanya bergetar sedikit. Kemudian menyadari, bahwa dialog yang dia tulis bisa membentuk persepsi orang yang menonton (atau dalam kasus saya, mendengar). Membentuk persepsi bahwa wajar saja jika perempuan yang disakiti oleh laki-laki tidak mengambil langkah tegas sebagai bentuk pertahanan diri selain bersabar karena hal itu yang paling dianjurkan oleh agama.

Ya tuhan. Sebentar, saya minum segelas air dulu. -_-

Mendengar dialog sinetron itu dari kamar saya, saya jadi ingin bertanya kepada penonton acara tv seperti ini. Saya penasaran, apa yang bisa dinikmati dari sinetron yang plotnya seperti ini? Apa membuat para perempuan menjadi lebih paham bagaimana  respon yang tepat ketika laki-lakinya berselingkuh? Apa para perempuan melihat refleksi diri mereka ketika disakiti laki-lakinya dalam sinetron itu? Apa perempuan melihat bahwa mereka ada di posisi tersebut? Posisi disakiti, posisi ada di bawah opresi? Mungkin bentuk opresinya bisa saja berbeda dengan yang ada di cerita sinetron tersebut. Tapi......

Hm. Baiklah. Mungkin saya harus kembali mengingat bahwa Ibu dan sinetronnya adalah… one of a cross I have to bear.

Sepertinya saya harus berhenti di sini. Saya tidak ingin menulis tentang bagaimana seharusnya perempuan menjadi seorang perempuan. Karena  saya percaya setiap perempuan memiliki konsep dan pemikiran sendiri tentang menjadi perempuan. Bagaimana cara untuk terus belajar, berkembang, menjadi pribadi yang lebih baik. Kemudian dari sana berangkat menjadi komponen yang berfungsi untuk membantu membangun tumbuh kembang society yang lebih baik.

sekian, dan terimakasih. sayonara panas.

p.s: ditulis dalam ketika datang bulan, hari pertama. hormon. perempuan. xx.
p.ss: ditulis dengan lagu latar: tigapagi – tangan hampa kaki telanjang.
p.sss: Sorry for the title, i can't help my self -_-