Saya suka sepeda. Mungkin ini salah satu aktivitas yang bisa
saya masukan ke dalam kategori olahraga yang saya lakukan, selain berjalan
jauh.. atau lari (dari kenyataan). Hm. Eh tapi serius.. saya sempat rutin lari
pagi. Tapi dibandingkan semua itu, saya paling suka main sepeda. Main sepeda
sangat menyenangkan.
Saya punya kenangan manis tentang sepeda. Almarhum kakek saya,
ayah dari Neng Isye, dulu ketika saya berusia empat tahun sering membonceng
saya berjalan-jalan dengan sepedanya. Ke tempat-tempat menyenangkan. Menelusuri
jalan teduh, beristirahat, menikmati segelas cingcau hijau. Hm. Menyenangkan
sekali. Kalau tidak salah ingat, beliau juga yang mengajari saya cara mengendarai sepeda. Beliau juga yang membelikan saya sepeda saya yang pertama. Sepeda roda tiga berwarna pink. Saya dulu sering ditinggalkan kakak saya ketika bermain sepeda, menurutnya saya terlalu lambat. Tapi untungnya temannya selalu menemani dan menunggu saya. Bahahaha.. Again: The perks of being a sister. Saya biasa bermain sepeda, sampai matahari terbenam. Jadi, tak heran kalau warna kulit saya eksotis (?) karena terlalu sering terbakar sinar UV. Tapi ternyata, setelah tumbuh dewasa pun, saya masih suka main
sepeda. Hm. Tapi kalau coba diingat, Terakhir kali mengendarai sepeda itu
sekitar beberapa tahun yang lalu. Satu tahun? Dua tahun? Saya lupa kapan
tepatnya. Mungkin sekitar satu atau dua tahun yang lalu.
Jadi ceritanya saya terlibat satu insiden yang menyebabkan
saya kehilangan sepeda saya. Oh iya,
jangan bayangkan saya mengendarai sepeda bmx atau sepeda fixie dengan warna
cute. Kemungkinan besar sepeda saya sepeda umum yang biasa saja. Mungkin…
merknya wimcycle...(Saat mengetik merk sepeda, saya menahan impuls dalam diri saya untuk mengembik "heboooohhh" seperti mbek yang ada di iklan tv sepeda ini...... -_-)
Eh. Lagi-lagi, stibans gagal fokus. Back to the incident. Jadi
ceritanya pada suatu hari minggu pagi yang cerah, isti bani pergi mengeluarkan
sepedanya. Lalu mulai bersepeda sambil mendengarkan lagu dari ponsel melalui earphone. Dia berangkat dari rumahnya. Rutenya belum dia tentukan secara
spesifik. Dia hanya bersepeda mengikuti arah angin… lalu tiba-tiba isti bani
sudah sampai di daerah dipati ukur.
Kemudian, dari daftar putar
yang disetel acak di ponsel stibans tiba-tiba diputar… lagu favorit masa itu. Kings
of convenience – Mrs. Cold. Karena terlalu senang, saya sing along sambil
bergaya.. melepas kedua tangan saya dari handle bar sepeda. Bernyanyi bersama Erlend Øye dan bergaya. Seolah-olah saya adalah bagian dari video clip... Kemudian BRAK. Saya menabrak mobil
angkutan kota jurusan kalapa – dago yang tiba-tiba berhenti. Saya terjatuh
cukup keras. Lutut bertemu aspal. Berdarah. Kemudian
setelah kejadian tabrakan dengan angkot (hmm angkot banget ya bro), saya
berusaha untuk tetap terlihat tenang dan berencana untuk melanjutkan perjalanan
seolah-olah tidak terjadi apapun. Tapi, saat hendak mengayuh sepeda lagi ternyata eh ternyata bagian depan sepeda saya—yang menurut kang
ichanoski namanya itu adalah fork—bengkok. Hm. Jadi saya… mengalami kesulitan
mengayuh sepedanya. Akhirnya saya pulang sambil menuntun
sepeda saya tersebut. Hm.. lututnya berdarah, tapi berusaha untuk
tetap ada di jalan yang benar. (iya, kalau jalannya salah kan nanti nyasar ya……)
Kemudian, saya sampai rumah. Ada ibunda
pulang dari pasar. Melihat saya menuntun sepeda saya, ibu berkomentar. Kemudian
terjadi percakapan sekitar satu menit. Begini kira-kira.
Ibunda: ade, baru pulang main sepeda?
Istibans: iya. Hehe.
Ibunda: lututnya kenapa berdarah? Jatuh?
Istibans: iya. Hehe. Nabrak angkot.
Ibunda: oh.
Wah. Saya… terkejut ibunda
menanggapi berita saya terjatuh karena menabrak angkot dengan sangat tenang. Biasanya
ibunda panik. Jadi saya menarik nafas lega, kemudian mengobati luka saya. Dua minggu kemudian, lutut saya
sudah kembali ke kondisinya yang prima. Saya berencana jalan-jalan lagi. Main sepeda.
Kemudian saya pergi ke taman belakang, mengambil sepeda. Tapi ternyata…. Sepeda
saya tidak ada di sana. Jadi saya mendatangi ibunda. Kemudian bertanya, “Ibu,
sepeda ade mana?”
Lalu… ibunda, the first lady,
dengan ekspresi lurus dan nada suara ringan menjawab, “dikilo~”
…………
…………
…………
Dan sampai sekarang, saya tidak
pernah memiliki sepeda lagi. -_- jadi olahraganya dalam bentuk yang lebih
realistis: berlari dikejar due date. Hore.
Sekian. -_-