Saturday 26 April 2014

Day 10. Sayap Rinjani

Sayap… ketika saya mendengar kata ini, saya langsung teringat pada quote dari Charlie Chaplin yang pernah saya lihat di timeline seorang teman. 
“seni, sebelum memasangkan sayapnya, akan terlebih dahulu mematahkan kakimu.” -- Charlie Chaplin.
Ketika membaca itu, saya langsung mengingat seorang anak perempuan yang masih ada di rimba amniotik. Rinjani. Saya kerap berpikir tentang dia. Kira-kira apa yang akan dia pilih sebagai medianya untuk terbang menggapai hal-hal yang dia impikan. Menggapai bintang yang lebih tinggi. Karena tentu Rinjani akan memiliki impian yang jauh lebih tinggi daripada penyumbang kromosom XX dan XY-nya. Tentu Rinjani juga akan memiliki lebih banyak kesempatan dan memiliki lebih banyak potensi dari keduanya. Si XX dan si XY ini.

Imajinasi saya kerap berkelana, ke masa yang akan datang, di mana saya duduk menemani Rinjani menenun sayapnya. Entah dengan media apa yang dia pilih untuk menenun sayapnya yang cantik. Entah warna apa yang dia gunakan. Entah kapan, bagaimana dan entah dengan cara apa dia menenun kedua sayapnya itu. Tapi satu hal yang saya tahu pasti, I’ll be her number one appreciator.

Day 9. Dikejar Due Date

Akhir-akhir ini saya sedang sering berlari. Berlari dikejar tenggat waktu untuk mengumpulkan laporan PLA (Program Latihan Akademik) alias magang yang telah saya jalani selama 8 pekan di Lembaga Pemasyarakatan Anak Klas III Bandung. Saya menjalani proses magang karena itu adalah sebuah kewajiban dari jurusan saya tercinta. Psikologi UPI. Hiks 4 sks bro. kemudian sekarang saya sudah memasuki bulan ke tiga dari semester 8, dan saya belum menyentuh skripsi saya sama sekali karena perkara ini. Well…. Mungkin seharusnya saya bisa mengerjakan keduanya sekaligus. Tapi apa mau dikata… ternyata saya tidak ingin mengerjakan keduanya sekaligus.

Dan di sini, sekarang… Saya ingin membuat sebuah pengakuan. Sesungguhnya, lari dikejar due date alias tenggat waktu ini sangat… hm. Saya kesulitan menemukan kata yang tepat. Sangat apa yah. Sangat menegangkan? Er. Aneh juga. Sangat menyenangkan? Boro-boro. Tapi… mungkin kombinasi keduanya. Saya suka berlari dikejar due date karena ternyata.. itu memacu adrenaline saya.

Kasian amat yah. Memacu adrenaline dengan cara seperti ini. Seharusnya saya melakukan aktivitas fisik yang nyata. Mungkin panjat tebing, melakukan bungee jumping atau jatuh cinta. Kan itu nyata yah memacu adrenaline. Daripada berlari dikejar due dateBut seriously, ketika dikejar due date, saya pikir… banyak hal yang awalnya tidak terpikirkan oleh saya akhirnya keluar dari lapisan cerebral cortex. Bahaha. Tuh kan. Lihat. Saya menulis ini lagi-lagi di antara due date bimbingan laporan dengan Ibu Jannah besok pagi pukul 10 dan saya malah menjalani komitmen saya dengan Hani. Menjalani komitmen perkara 30 hari menulis ini, sambil mengingat detail-detail kecil dari pelajaran yang saya terima di kelas… neurologi. (kalau nggak salah inget neurologi. Yah, kalau bukan neurologi mungkin kelas biopsikologi. Hm. Sesuatu pokoknya)

Nah, karena mengingat detail dari yang saya pelajari di kelas, saya jadi sedikit penasaran… bagaimana bisa otak bekerja dengan lebih cepat dan efisien ketika dikejar due date. Otak kan… penentu pola perilaku manusia yah, pusat penentu kepribadian manusia. (karena penentu kepribadian manusia itu kalau nggak salah ada di bagian otak depan… sampai otak tengah. Namanya itu tenstesefalon? Ah sesuatu tentang itu pokoknya. Jadi kalau dia… bekerja lebih cepat ketika dikejar due date, dalam tekanan, dalam sebuah jeratan.. berarti si otak ini… agaknya eskapis yah. An escape artist. Karena secara ajaib selalu menemukan cara untuk bertahan dan menyelesaikan hal-hal, ketika waktunya hampir habis. Ketika dalam kondisi terdesak.)

Er. Tapi mudah-mudahan, si otak yang ternyata punya simtom-simtom eskapis tadi… tidak banyak mengantarkan saya pada penyesalan karena hal-hal yah. Penyesalan karena terlambat mengakui, atau terlambat melakukan hal-hal. Sebenarnya saya ini sedang membahas apa ya? Duh otak. Berlari dikejar due date. Semacam kejar daku kau kutangkap. Norak. Tapi suka. Eits.. bahahahaha.


Sampai jumpa lagi besok. See you when I see you.

Wednesday 23 April 2014

Day 8. The Blank Page

Masa depan. Masa di mana segala sesuatunya ada di ranah ketidakpastian. Hanya Dia yang Maha Menggenggam Semesta yang tahu apa yang akan terjadi dan bagaimana hal itu bisa terjadi. Menghadapi masa depan bagi saya adalah sebuah petualangan yang…. Menegangkan. I’m afraid of course. Tapi kalau kata Rachel di serial FRIENDS ketika dia akan pergi ke Paris untuk pekerjaan di bidang fashion yang merupakan passionnya, takutnya itu takut yang menyenangkan. Seperti perasaan takut ketika pertama kali menginjakan kaki ke sekolah. Takut ketika pertama kali harus membacakan puisi di depan kelas. Takut ketika pertama kali menyadari bahwa kamu jatuh cinta.

Masa depan bagi saya seperti permainan puzzle. Di mana kita meraba satu kepingan, mengenali sudut dan pola bentuknya. Setelah itu mencari kepingan yang cocok untuk kemudian direkatkan sehingga kita bisa melihat sebuah kepingan gambar. Lalu kembali mempelajari pola dan mencari kepingan lainnya. Menyusun puzzle seperti itu dibutuhkan proses belajar. Menyadari dan memaknai setiap sudut dan pola dari kepingan yang kita temukan. Bagi saya, kurang lebih… seperti itu.

Sekarang saya sedang menyusun puzzle untuk bisa melihat… atau merancang… masa depan saya. 5 tahun ke depan misalnya. Begitu banyak pertanyaan seperti itu. Bagaimana kamu melihat dirimu sendiri 5 tahun yang akan datang? Pertanyaan itu selalu membawa kecemasan pada saya. 5 tahun lagi saya sudah bisa mencapai apa? Sudah melakukan apa untuk orang-orang terkasih? Sudah berfungsi dan berkontribusi apa untuk komunitas yang lebih besar?

Saya kerap cemas… kalau saya akan gagal… banyak menghadapi kegagalan ketika saya mempelajari pola puzzle dan menyusunnya. Saya cemas saya akan lengah. Lengah terhadap pola puzzle yang ditawarkan semesta. Lengah melihat pola dan gejala, kemudian menganggapnya sebagai sebuah kebetulan. Padahal, menurut Mycroft Holmes: “the universe is rarely so lazy….” dan kita kerap diingatkan bahwa there's is no such thing as coincidence. Jadi, ya… saya cemas saya lengah melihat pola dan menghitung posibilitas, kemudian membiarkan sebuah kesempatan tergelincir dari tangan saya. Namun kemudian, saya mengingat sebuah kalimat… bahwa mencemaskan masa depan terlalu banyak… menurut Sujiwo Tejo.. itu sama saja dengan menghina Dia yang Maha, yang menggenggam Semesta di antara jemariNya. Saya mencemaskan masa depan terlalu banyak, berarti saya meragukanNya. Dia yang Maha Pengasih… yang memberi tanpa pandang kasta.

Ah. Ibunda. Anakmu ini kerap cemas sampai lupa mengucap syukur untuk berkah, karunia dan kasih sayang yang berlimpah yang dia rasakan dan dapatkan hari ini.
Manusia.
“Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?”

Day 7. Sesuatu yang Dikayuh dan Beroda Dua

Saya suka sepeda. Mungkin ini salah satu aktivitas yang bisa saya masukan ke dalam kategori olahraga yang saya lakukan, selain berjalan jauh.. atau lari (dari kenyataan). Hm. Eh tapi serius.. saya sempat rutin lari pagi. Tapi dibandingkan semua itu, saya paling suka main sepeda. Main sepeda sangat menyenangkan. 

Saya punya kenangan manis tentang sepeda. Almarhum kakek saya, ayah dari Neng Isye, dulu ketika saya berusia empat tahun sering membonceng saya berjalan-jalan dengan sepedanya. Ke tempat-tempat menyenangkan. Menelusuri jalan teduh, beristirahat, menikmati segelas cingcau hijau. Hm. Menyenangkan sekali. Kalau tidak salah ingat, beliau juga yang mengajari saya cara mengendarai sepeda. Beliau juga yang membelikan saya sepeda saya yang pertama. Sepeda roda tiga berwarna pink. Saya dulu sering ditinggalkan kakak saya ketika bermain sepeda, menurutnya saya terlalu lambat. Tapi untungnya temannya selalu menemani dan menunggu saya. Bahahaha.. Again: The perks of being a sister. Saya biasa bermain sepeda, sampai matahari terbenam. Jadi, tak heran kalau warna kulit saya eksotis (?) karena terlalu sering terbakar sinar UV. Tapi ternyata, setelah tumbuh dewasa pun, saya masih suka main sepeda. Hm. Tapi kalau coba diingat, Terakhir kali mengendarai sepeda itu sekitar beberapa tahun yang lalu. Satu tahun? Dua tahun? Saya lupa kapan tepatnya. Mungkin sekitar satu atau dua tahun yang lalu.

Jadi ceritanya saya terlibat satu insiden yang menyebabkan saya kehilangan sepeda saya.  Oh iya, jangan bayangkan saya mengendarai sepeda bmx atau sepeda fixie dengan warna cute. Kemungkinan besar sepeda saya sepeda umum yang biasa saja. Mungkin… merknya wimcycle...(Saat mengetik merk sepeda, saya menahan impuls dalam diri saya untuk mengembik "heboooohhh" seperti mbek yang ada di iklan tv sepeda ini...... -_-)
Eh. Lagi-lagi, stibans gagal fokus. Back to the incident. Jadi ceritanya pada suatu hari minggu pagi yang cerah, isti bani pergi mengeluarkan sepedanya. Lalu mulai bersepeda sambil mendengarkan lagu dari ponsel melalui earphone. Dia berangkat dari rumahnya. Rutenya belum dia tentukan secara spesifik. Dia hanya bersepeda mengikuti arah angin… lalu tiba-tiba isti bani sudah sampai di daerah dipati ukur.

Kemudian, dari daftar putar yang disetel acak di ponsel stibans tiba-tiba diputar… lagu favorit masa itu. Kings of convenience – Mrs. Cold. Karena terlalu senang, saya sing along sambil bergaya.. melepas kedua tangan saya dari handle bar sepeda. Bernyanyi bersama Erlend Øye dan bergaya. Seolah-olah saya adalah bagian dari video clip... Kemudian BRAK. Saya menabrak mobil angkutan kota jurusan kalapa – dago yang tiba-tiba berhenti. Saya terjatuh cukup keras. Lutut bertemu aspal. Berdarah. Kemudian setelah kejadian tabrakan dengan angkot (hmm angkot banget ya bro), saya berusaha untuk tetap terlihat tenang dan berencana untuk melanjutkan perjalanan seolah-olah tidak terjadi apapun. Tapi, saat hendak mengayuh sepeda lagi ternyata eh ternyata bagian depan sepeda saya—yang menurut kang ichanoski namanya itu adalah fork—bengkok. Hm. Jadi saya… mengalami kesulitan mengayuh sepedanya. Akhirnya saya pulang sambil menuntun sepeda saya tersebut. Hm.. lututnya berdarah, tapi berusaha untuk tetap ada di jalan yang benar. (iya, kalau jalannya salah kan nanti nyasar ya……)

Kemudian, saya sampai rumah. Ada ibunda pulang dari pasar. Melihat saya menuntun sepeda saya, ibu berkomentar. Kemudian terjadi percakapan sekitar satu menit. Begini kira-kira.
Ibunda: ade, baru pulang main sepeda? 
Istibans: iya. Hehe.  
Ibunda: lututnya kenapa berdarah? Jatuh? 
Istibans: iya. Hehe. Nabrak angkot. 
Ibunda: oh.
Wah. Saya… terkejut ibunda menanggapi berita saya terjatuh karena menabrak angkot dengan sangat tenang. Biasanya ibunda panik. Jadi saya menarik nafas lega, kemudian mengobati luka saya. Dua minggu kemudian, lutut saya sudah kembali ke kondisinya yang prima. Saya berencana jalan-jalan lagi. Main sepeda. Kemudian saya pergi ke taman belakang, mengambil sepeda. Tapi ternyata…. Sepeda saya tidak ada di sana. Jadi saya mendatangi ibunda. Kemudian bertanya, “Ibu, sepeda ade mana?”
Lalu… ibunda, the first lady, dengan ekspresi lurus dan nada suara ringan menjawab, “dikilo~”

…………
…………
…………

Dan sampai sekarang, saya tidak pernah memiliki sepeda lagi. -_- jadi olahraganya dalam bentuk yang lebih realistis: berlari dikejar due date. Hore.

Sekian. -_-

Sunday 20 April 2014

Day 5. Arcana Major III: The Empress

"The mother is everything - she is our consolation in sorrow, our hope in misery, and our strength in weakness. She is the source of love, mercy, sympathy, and forgiveness. He who loses his mother loses a pure soul who blesses and guards him constantly." -- Kahlil Gibran

Neng Isye the First Lady is literally the best woman I know. She’s just…. Too…… Hm. Saya kesulitan menemukan kata yang tepat. Ibu saya terlalu apa ya? Terlalu baik? Kata itu pun sepertinya kurang tepat mendeskripsikan Neng Isye, cintaku. Cinta dalam hidupku. Bahahahaha.. betapa love of my life terdengar picisan dalam bahasa sendiri. Neng Isye itu perempuan cantik dengan tatapan jutek.. jutek tapi adiktif ih. Ampun~ Butuh bukti? Ini dia. Mahahahaha..
 
Neng Isye The First Lady
Neng Isye selalu mendahulukan kebutuhan dan kepentingan orang lain di atas kepentingannya sendiri. Jangankan orang terdekatnya seperti keluarga, kepada tetanggapun Neng Isye sayang. Neng Isye seperti matahari yang nggak takut kehabisan energi ketika membagi-bagikan kasih sayangnya tanpa pamrih buat orang-orang yang ada di konstelasi semestanya. Neng Isye adalah alasan kenapa ada lirik lagu, “hanya memberi tak harap kembali…”

Neng Isye itu. Hm. Neng Isye itu ibu yang kerap masuk ke kamar saya tanpa mengetuk, sekedar untuk memastikan saya masih bernafas. Sering kali ketika melihat saya sedang membaca buku, Neng Isye akan merajuk minta diceritakan isi bukunya. Ketika saya menolak, Neng Isye akan tidur di samping saya dan memeluk saya sampai saya berhenti membaca. Memberikannya atensi sepenuhnya, dan pada akhirnya kami akan tertawa bersama. Neng Isye juga keras kepala. Neng Isye sering kali memaksa untuk duduk menemani saya yang dikejar due date ini itu. Neng Isye akan duduk terkantuk-kantuk di sebelah saya yang menatap laptop. Melihat itu saya akan memegang perutnya yang empuk dan merayunya untuk beristirahat dengan nyaman di kamarnya dan mempercayakan due date ini itunya pada saya sendiri. Neng Isye juga kerap kali meminta saya untuk mengecilkan volume ketika saya sedang larut dengan distorsi Bapak. Tapi kemudian diam-diam tidur dengan backsound Sad But True. Lalu secara ajaib lagu latar tidurnya akan beralih ke lagu-lagu dari the cranberries atau kaki king yang biasa saya dengarkan sambil mengerjakan ini itu… atau… tiba-tiba mendengarkan postrock. Ibu saya suka el ten eleven. -_-

Selain itu.. apa yah. Neng Isye suka Dude Herlino. Hm. -_- selera ibu sih teorinya gitu, Dude Herlino. Tapi yakin deh waktu muda ibu cenderung jatuh cinta pada.. hm.. tipe.. siapa yah. Bucek Depp? Bahahahahaha. Duh kayaknya kalau Neng Isye tahu saya menulis ini, dia akan menjitak saya dan memotong jatah jeruk saya minggu depan.

Ah Neng Isye the First Lady… Saya kurang bisa menemukan kata yang tepat untuk mendeskripsikan Ibunda. Satu hal yang pasti, dia gravitasi saya. Dia adalah tulang punggung dan tulang rusuk saya.

Bima, Ibu, Bani. Segitiga Phytagoras.


Dibuat dengan lagu latar : the cranberries – animal instinct. on repeat.

Saturday 19 April 2014

Day 3. Manusia Berkromosom XY yang Lahir Lebih Dulu

Here I talk about my father a lot. The one with black shirt, guitar and distortion. Yes, that one. Bapak James Hetfield. And I talk about my mother a lot too. Neng Isye the first lady. But I rarely talk about my brother. My closest muhrim.

Nama kakak saya Bima Ichsan Nur Zaman, yang sering kali saya panggil Abim. Saya mungkin beberapa kali menyebutnya di twitter… well, he’s my best frienemy. Hubungan kami humoris. Mungkin itu kata yang paling tepat untuk mendeskripsikan bentuk relasi saya dan kakak saya. Dia 2 tahun lebih tua daripada saya. So basically we grew up together and through almost the same thing. Rute main sepeda yang sama, sekolah yang sama, permainan yang sama dan perlakuan dari orang tua yang hampir sama. Saya juga ingat dulu, dulu sekali Abim yang melindungi telinga saya dari teriakan dari luar, atau sering kali duduk di samping saya yang menahan tangis. Dia biasanya hanya diam. There’s no comforting words or holding my hands… Tapi saya merasa cukup. Mungkin sampai sini kalian akan bergumam, “Aw, how cute. Afeksinya manis banget.” But hell, dia jahil setengah mampus dan kerap kali melibatkan saya dalam beberapa masalah dengan Ibu. Misalnya, dia yang mengadukan saya pada Ibu ketika saya akan pergi ke konser Burgerkill. It supposed to be a secret, tapi dengan ringannya hal itu keluar dari mulutnya kemudian Ibu  menjadi panik kalau saya akan terinjak di moshpit, lalu melarang saya pergi dan melihat itu, kakak saya tertawa terbahak. Ish. Begitu, dia jahil dan kerap melakukan celotehan-celotehan yang seharusnya rahasia………….
Abim itu zodiaknya Gemini. Gemini dengan golongan darah O. jadi mungkin bisa kalian sedikit bayangkan bagaimana konyol, usil, jahil dan betapa menyebalkannya dia. Saya dan dia di rentang kepribadian dan selera yang berbeda. Berbeda dengan saya, abim lebih senang menghabiskan waktu berlama-lama di warung kopi dengan teman-teman laki-lakinya dan bertukar jokes seksis, bermain poker, menjadi RW, merokok seperti kereta api, lebih suka kopi manis, mendengarkan music yang ada di chart top 40s, dan lain-lain.

I knew him too well. Saya tahu cerita cintanya dari A sampai Z. Saya bahkan ingat pacar pertamanya yang bernama Gabriella yang biasa dipanggil Gabby. Gabby ini manis dan punya tahi lalat di dagu. Atau pacar Abim ketika SMA, seorang perempuan popular yang terlibat di ekstrakulikuler cheerleaders. Aduh.. ingin ketawa. I know his story almost every details, but he rarely knows mine bahahahha. Kami (hampir selalu) berbagi rahasia dan cerita-cerita bodoh sampai saya kadang begitu khawatir dengan masa depannya. Tapi kemudian setiap saya mulai mengkhawatirkannya, saya mengingat sebuah kalimat: “Trust issue kepada Tuhanmu sendiri? Astagfirullah.”  Jadi begitulah, setiap saya mulai khawatir, saya sebisa mungkin meyakini, bahwa kakak saya disayang Yang Maha Penyayang. Akan selalu dalam lindunganNya.

Ah, saya juga pernah berikrar akan bersikap baik padanya seumur hidup dan menjadi adik yang waras untuk dia karena dia telah berjasa. Jasa dia sangat besar untuk hidup saya. Ya, dia adalah sponsor utama reuni saya dengan Ayahanda, Bapak Hetfield di GBK 25 Agustus silam. Abim mengeluarkan uang tabungannya untuk saya. Ikikikikik the perks of being a sister. Saya kadang diasuh olehnya, dijaga. Ah kadang juga Abim pamer maskulinitas di hadapan teman-teman saya yang laki-laki. Sikap konyol dan kerling matanya yang jahil biasanya langsung menghilang. Kemudian, muncul ekspresi itu: ekspresi dingin dan protektif. Haha. He’s my line in the sand when I go too far.


Bima dan Bani di GBK~


Thursday 17 April 2014

Day 2. Gambar dalam Kotak yang Orang Bilang Melambatkan Imajinasi

Halo, kembali lagi bersama isti bani dan due date full draft laporan PLA yang diminta Bu Jannah hari senin tanggal 21 April. Full draft. Sekarang hari kamis dan besok itu gosipnya long weekend. Like it ever exist azzzz. Just like yesterday, I’m writing this in the middle of writing that PLA thing with the tv’s on as a backsound. Dari suaranya mungkin… ibu saya sedang menonton sinetron sesuatu. Ah, sinetron. Saya pernah bilang sama ibu kalau menonton sinetron  berdampak… kotak emosi rusak. Tapi, hm. Yasudahlah… Ibu yang menonton sinetron malah mengingatkan saya pada topik hari ini. Tv show.

Saya bukan tipe yang suka berlama-lama di depan televisi. Menurut saya ada hal lain yang lebih menyenangkan untuk dijadikan distraksi atau untuk mengisi waktu yang kelewat luang. Misalnya menanam pohon, membaca buku atau makan jeruk. Atau makan jeruk sambil baca buku. Atau baca buku tentang gadis jeruk sambil makan jeruk. Ah by the way, cerita gadis jeruk.. plotnya lama dan membosankan. Atau itu memang gaya si penulis? Novel dia sebelumnya juga gitu, terlalu lama. Eh. Lagi-lagi nggak fokus. Kembali ke topik awal. Tv show.

Saya jarang menonton tv, tapi ada beberapa acara yang menarik perhatian saya. Tentu saja. Seperti manusia pada umumnya. Beberapa acara dari tv local yang menarik perhatian saya mengudara sekitar pukul 12.00 hingga pukul 13.00 wib. Hmmmm… itu nama acaranya.. laptop si unyil dan dunia satwa. Iya, nama programnya 'dunia satwa' kalau saya nggak salah mengingat. The best part of the show, di laptop si unyil, di tiap akhir acara si unyil manggung bersama teman-temannya. Sebuah cover band bernama dekilz. Mereka mengaransemen ulang lagu-lagu popular, dengan aransemen yang sedikit… may I say, melodic punk? Bahahaha kayaknya itu menjelaskan kenapa selalu ada satu anak dengan potongan rambut mohawk warna merah di barisan terdepan panggung. Menunggu Unyil untuk sekedar melakukan lompatan ala rockstar. Tapi sayangnya saya belum pernah menyaksikan unyil melakukan itu. Hm, it would be interesting… really. Ah, saya membayangkan mereka berlatih di garasi milik bapak salah satu personel, garasi yang sudah tidak digunakan. Tinggal tunggu waktu saja unyil sang vokalis cinta lokasi dengan meilan sang keyboardis.

-_- oke, itu sepertinya hanya terjadi di kepala saya saja… dan kita jangan lupa pada fakta bahwa informasi yang disajikan dan saya terima dari acara laptop si unyil atau dunia satwa betulan menarik. Interesting facts. Jalan-jalan ke pabrik pensil warna misalnya, ke pabrik kain, ke tempat penangkaran penyu, ke tambak ikan, kebun binatang, dan lain-lain. woa~ its fascinates me. Dari acara itu, penonton (yang sasarannya anak-anak hm) diajak melihat  bagaimana caranya hal-hal diproduksi, proses dari hal-hal. Ah, saya tidak bisa menyembunyikan senyum, bahkan tawa beberapa detik kalau mengingat bagaimana lucunya muka pegawai-pegawai pabrik diwawancarai unyil atau dolpino... dolpino si lumba-lumba yang entah jantan atau betina. Yang pasti, kadang-kadang logat dolpino itu logat tegal. Hm. Terus saya malah jadi ingin bertanya, darimana asal logat tegal dolpino? Tegal deket laut?


Okay. See you later. See you tomorrow. And the day after tomorrow.

yours,
peri robusta.

Day 1. Rok yang Kurang Cocok Untuk Diajak Menggelinding

Its been ages since the last time I write something here… dan tiba-tiba kemarin Hani, mengirim pesan singkat yang isinya, “30 days of writing, yuk.” And I thought “Em hell, why not.” Saya sedang dilanda kebosanan akut jadi telat melakukan kalkulasi bahwa perkara 30 hari menulis ini akan membutuhkan dedikasi dan komitmen. Oke, singkatnya setelah saya dengan serampangan menyetujui untuk melakukan 30 hari menulis, Hani mengusulkan 15 topik, dan dia meminta saya untuk mengusulkan 15 topik berikutnya. Ketika saya membalas pesan singkat Hani perihal 15 topik dari 30 hari menulis ini, saya sedang mencuci baju. Tepatnya, saya sedang menjemur rok seragam SMA sepupu saya. Jadi, tanpa pikir panjang, saya menulisnya sebagai topik pertama. Ketika mengetik balasan pesan singkat itu, saya tidak melakukan kalkulasi apapun.. dan akhirnya, di sini lah saya. Dengan kening berkerut. Memikirkan rok.

Rok. Skirt. Dress. Fashion item. Sebelumnya…. Ijinkan saya untuk melakukan sebuah pengakuan. Saya bukan tipe perempuan yang terlalu feminine. Agak boyish. Sedikit. Bahahaha saya ingat ketika SMP saya begitu tomboy. Mengikuti ekstrakurikuler basket, membaca komik di bangku kelas paling belakang, dan mendiskusikan lagu Avril Lavigne dan Simple Plan dengan Hani yang kadar freaknya sebelas duabelas dengan saya. Pada saat itu—glory days—saya hampir selalu mengenakan kaos berwarna hitam dan celana jeans. (well… sekarang juga nggak terlalu jauh dari itu sih. -_-). 

Sampai titik itu, sense of fashion isti bani remaja sampai di sana. Rok? Hanya punya rok sekolah. Kriks. Namun kemudian semua berubah ketika Negara api menyerang…. azzzzzzzz sorry really.. nggak bisa menulis dengan serius. Saya sedang di tengah-tengah mengerjakan laporan magang dan merasa bosan menulis kalimat-kalimat yang serius. So, back to the skirt, semua berubah ketika isti bani masuk SMA, bertemu teman-teman perempuan yang agak normal… kemudian diperkenalkan bahwa di dunia ini ada fashion item selain kaos berwarna hitam.

Mereka mengajari saya what color good with what.. and sort of thing. Jadi sekarang… isti bani di usia 22 tahun memiliki beberapa rok dan mari sebut saja sense of fashion yang saya rasa lebih baik. Oke. Hm. I’m counting and as far as I remember I only own one black skirt that I usually wore to attend psycodiagnostic class, doing presentation thingy. Some dress. Well… 3 dress. Warna hitam (tentu saja), biru (hm..), dan abu (baiklah). Sisanya? Ada beberapa rok terusan vintage lungsuran dari ibu. Dengan motif bunga-bunga….. yang pernah saya canangkan akan saya pakai ke konser Burgerkill. Tapi ternyata, karena alasan keamanan dan ijin dari ibu Negara—neng isye the first lady—rok terusan bunga-bunga vintage itu gagal ada di moshpit.

In case you’re curious, here’s the sneak peak of that floral vintage dress:


Sampai jumpa lagi. Besok. Besoknya lagi, besoknya lagi, besoknya lagi… dan besoknya lagi -_-