Thursday 31 December 2015

Day 30. Surat untuk Isti Bani: Tentang Kemarin, Hari Ini dan Esok

Halo. Apa kabarmu?

Kamu menulis begitu banyak surat untuk orang lain tahun ini. Kamu bertanya tentang hari mereka, tentang kondisi mereka, tentang isi kepala mereka dan tentang perasaan mereka. Kadang kamu mencurahkan keresahan atau kebahagian yang kamu alami di hari itu. Kadang kamu menulis surat sambil tersenyum atau sambil menangis. Kamu menulis suratmu dengan aksara, dengan warna, atau dengan nada. Sayang, namun kamu lupa untuk menulis surat untuk dirimu sendiri. Ya, kamu terkadang terlalu penuh dengan dirimu sendiri. Kadang kamu tak ada ruang untuk dirimu sendiri. Ingatlah, kamu perlu ada di antaranya.

Tahun ini kepalamu penuh. Dadamu sesak. Temali mengikat jantungmu kuat. Nafasmu pun berat. Banyak air mengalir tahun ini. Tenang, sayang. Kamu akan mengalaminya lagi di masa yang akan datang. Tapi ketahuilah, kamu akan mampu melaluinya dengan lebih tenang. Lebih berserah.  Karena kutahu tahun ini agaknya kamu telah sedikit belajar tentang apa itu menerima. Mungkin belum sepenuhnya memang, tapi setidaknya kamu sudah mau mengenalnya. Kenali dulu, baru kemudian pahami. Sedihmu, yang kadang menyempitkan ruang pandangmu kini menemukan labuhannya. Kamu akan selalu bisa pulang pada mereka yang mengasihimu. Kamu akan selalu bisa kemudian bersandar pada yang Maha Menggenggam dirimu di antara jemariNya.


Tahun ini kamu belajar tentang menerima dan melepaskan. Keduanya awalnya menyakitkan, apalagi kepalamu keras. Tapi ingatlah, rasa sakit itu tidak hanya ada padamu, tapi juga ada pada mereka. Keduanya meninggalkan luka. Tapi sayangku, percayalah. Keduanya membukakan jalan bagimu. Ingatlah, sebuah pertanyaan selalu dipasangkan dengan sebuah jawaban. Tapi ingat pula, bahwa jalan menuju jawaban itu tak hanya satu. Dia selalu bercabang. Jangan tutup mata dan tutup telingamu. Dengarkan mereka yang terkasih. Percayalah pada mereka. Orang yang meragu adalah orang yang merugi. Jadi sayangku, teguhlah.

Tahun ini kamu banyak belajar tentang arti menjaga, merawat, dijaga dan dirawat. Bersyukurlah. Lintasan semestamu dipenuhi oleh orang-orang baik hati yang menemanimu belajar dengan caranya sendiri. Bersyukurlah Dia selalu mengantarmu menuju jalan di mana kamu dipaksa terus untuk melihat dan belajar. Bersyukurlah kamu masih diberi kesempatan untuk terus memperbaiki caramu mendengarkan, berbicara, dan bersikap. Kamu telah belajar bahwa caramu peduli kadang tidak mencerminkan kepedulian yang sesungguhnya membawa mereka yang kamu sayangi menuju versi diri mereka yang lebih baik. Dengarkan dengan seksama dan hati-hati. Jadilah peka. Lihat dengan seksama. Bicara dengan hati-hati. Kata-katamu kadang setajam pisau, jadi jangan gunakan sembarangan. Ingatlah, pola dan gejala bertebaran di mana-mana. Minta mereka untuk terus mengingatkanmu agar tidak sembrono, agar tetap sadar dan hati-hati. Agar tak melukai. Agar tak mengulang kesalahan yang sama.

Sayang, tahun ini kamu banyak kehilangan dan menemukan. Bernafaslah dulu. Genggam dengan bijak. Ingatlah, kamu bukan juru selamat, bukan juga penyebab hal-hal buruk yang terjadi di sekitarmu. Tahun ini kamu telah belajar bahwa 7 dosa mematikanmu ternyata adalah perasaan bersalah. Tapi sayangku, semesta memiliki caranya sendiri untuk bekerja. Semesta saling terkait dan tak ada satu pun yang luput sebagai sebuah kebetulan semata. Pusat rotasi semestamu bukanlah kamu. Tapi matahari. Ingat, matahari. Lihatlah dengan hati-hati. Lalu bersikaplah sebaik mungkin. Berusahalah agar tak menyakiti mereka dan menyakiti dirimu. Agar tak disakiti mereka dan disakiti dirimu sendiri.

Tahun ini kamu banyak belajar tentang memohon maaf dan memaafkan. Sayang, terima kasih karena mulai menerima lukamu. Percayalah, itu yang membuatmu rasanya lebih mau untuk belajar menahan diri. Terimakasih karena sudah mulai mau untuk menerima bahwa tak semuanya harus kamu pahami saat ini juga. Terimakasih karena sudah mulai mau untuk menunggu. Terimakasih karena sudah mau berusaha untuk mengingat. Tapi sayang, kamu masih begitu pelupa. Ayo belajar terus, jangan menyerah. Kamu sudah melihat tahap dan siklus yang harus dilalui anak-anak untuk mengingat apa yang dipelajari. Jangan pernah sungkan untuk melalui tahap dan siklus yang sama atau bahkan lebih pelik. Jangan menyerah. Jangan menyerah untuk terus belajar agar mampu melampaui dirimu sendiri. Dan menemani mereka belajar untuk melampaui diri mereka. Jangan menyerah untuk bersabar dan melihat tanganNya mampu menggerakkan semestamu ke mana.

Terimakasih ya.

Tertanda,
Versi dirimu yang masih muda. Isti Bani si Kacang kedelai.

p.s: Terimakasih untuk perempuan-perempuan kesayangan yang masih terus bersabar. Terimakasih untuk rentang maaf dan rentang toleransinya.
p.s.s: Terimakasih karena kamu masih mau mengingatkan saya. Maaf juga, kadang saya diam dan menunggu untuk melihat sampai mana garis batasnya. Terimakasih juga karena sudah mengingatkan bahwa yang bagian paling menyenangkan adalah remeh temeh yang bisa kita tertawakan.
p.s.s.s: Isti Bani, Menggambar dan main gitar lagi yuk!
p.s.s.s.s: Menuju 2016 dengan misi mensana in corpora sano. Menuju geng quartet lebih bergairah. Menuju Masbro gondrong. Menuju Gabrielle solitude dan ceria.

p.s.s.s.s.s: Ditulis dengan lagu latar Tigapagi – Tangan Hampa Kaki Telanjang, Sore – Cermin, Katjie Piering – Destiny, Daughter – Medicine, Explosions in The Sky – The Only Moment We Were Alone, Kings of Convenience – Me in You.

Wednesday 30 December 2015

Day 29. Mengenai Ivan, Ruby, Lupa, Rumah, Peluk dan Pulang

Tahun 2015 ini saya sangat sedikit membaca buku jika di bandingkan dengan tahun lalu. Sebetulnya saya agak lupa. Apa iya buku yang saya baca tahun ini lebih sedikit dari tahun kemarin? Sepertinya iya. Saya tidak banyak mengingat buku yang saya baca. Rasanya hanya sedikit buku yang saya nikmati di tahun ini, yang saya ingat ketika membaca buku saya kerap kali merasa resah. Entah karena apa. Mungkin saya lupa alasan di balik rasa resah yang saya rasakan. Lagi-lagi lupa. Kenapa manusia begitu pelupa ya? Sampai harus meninggalkan catatan di sana sini untuk mengingat. Untuk mengingat biasanya saya mengambil foto atau menyimpan benda kecil dari momen yang saya anggap penting. Lalu saya jaga agar tidak hilang, karena jika hilang saya khawatir saya akan melupakan momen itu, saya akan lupa kejadian itu, lupa percakapan itu. Lalu jika lupa, saya mungkin akan lalai dalam belajar. Lalu saya akan menyakiti (atau merugikan) orang lain karena saya lalai atau mungkin saya akan melakukan itu pada diri saya sendiri. Kedua hal tersebut ada baiknya dihindari. Bukan begitu?

Hm. Saya meracau. Ini tulisan ke 29 dari seri 30 hari menulis dan niatan awalnya saya akan bercerita tentang buku yang paling berkesan bagi saya di tahun ini, tapi saya malah meracau membahas lupa dan semacamnya. Jadi mari kembali fokus, Isti Bani.

Buku paling berkesan yang saya baca tahun ini adalah The One and Only Ivan yang ditulis oleh Katherine Applegate dan dicetak oleh Harper Collin Publisher tahun 2012. Buku ini bercerita tentang Ivan (seekor gorilla silverback) yang sejak kecil hidup di dalam kandang di tengah sebuah Mall. Ivan begitu menikmati hidupnya di sana. Dia menikmati bagaimana manusia menontonnya dari balik kaca, menikmati acara TV yang biasa dia tonton dan percakapan sederhana dengan sahabatnya seekor gajah betina tua bernama Stella dan seekor anjing kampong bernama Bob. Sampai kemudian dia bertemu dengan seekor anak gajah yang bernama Ruby yang diculik dari keluarganya.

Sejak kedatangan Ruby, Ivan yang terbiasa sendirian akhirnya belajar kembali mengenai rumah, mengenai keluarga, mengenai makna pulang, menjaga, merawat dan menemani. Ivan menjelajahi tumpukan ingatan masa kecilnya tentang rumah dan keluarga di puing-puing alam bawah sadarnya melalui karya seni yang awalnya dia buat hanya untuk menjaga Ruby agar tetap senang, tapi ternyata itu membawanya untuk mengingat dan melihat hal dengan sudut pandang yang baru.

Buku ini sangat bagus. Buku anak yang sangat amat kaya. Membacanya membuat saya sedih, resah, terharu dan senang. Betapa buku ini membawa kita kembali mengingat dan melihat kembali tentang kebiasaan remeh temeh dan kebahagiaan dari perhatian kecil dari mereka yang terkasih bisa membantu kita keluar dari masa-masa buruk.  Dari buku ini rasanya saya belajar banyak sekali.
(Sekarang rasanya saya tiba-tiba kehabisan kata-kata ketika mengingat cerita tentang Ivan dan Ruby)
Intinya, ini buku anak yang sangat bagus. Serius.

Saya kutip halaman paling depan dari buku ini. Sejak baca halaman pertama, saya tau saya akan tersesat dengan Ivan lalu menemukan jalan pulang dengan haru. Mungkin kamu juga begitu.

“Someday, I hope I can draw the way Julia draws, imagining worlds that don’t yet exist. I know most humans think. They think gorillas don’t have imagination. They think we don’t remember our pasts or ponder our futures. Come to think of it, I suppose they have a point. Mostly I think about what is, not what could be. I’ve learned not to get my hopes up.”

Begitu katanya. Sejak halaman pertama di antara kata-kata di atas, saya jatuh cinta.

Terimakasih.
Selalu bersyukur.
Semoga selalu.

p.s: May I have the pleasure of your hand to lead this dance?
p.s.s: dan Rinjani akan menikmati malam-mya berbincang dengan Ivan. 
p.s.s.s: tentang madu dan beberapa suplemen yang harus ditelan agar tetap mampu menjalani hari.
p.s.s.s.s: dan tentang beberapa hal yang tak terucap karena tersesat di kepala.
P.s.s.s.s.s: peluk.


Day 28. Tentang Lagu yang Mengisi Hari

Saya memulai seri 30 hari menulis ini tepatnya tanggal 17 April 2014. Dengan seorang sahabat baik yang saya kenal sejak di bangku SMP. Dia bernama Hani Fauzia Ramadhani. Dulu kami menekuni ektrakurikuler majalah dinding bersama (Cinta AADC banget ga sih? Nunggu momen buat ngomong “Basi, madingnya udah mau terbit", tapi sialnya momen itu nggak pernah muncul), duduk di deret paling belakang (meskipun tidak satu bangku), mendengarkan lagu yang hampir selalu sama (yang liriknya depresif ala ala remaja me against the world sesuatu sesuatu) dan membaca buku yang daftarnya hampir selalu sama pula. Sampai hari ini kami masih berteman baik. Dia masih setia di dunia jurnalisme (betapa ternyata sahabat saya yang satu itu bisa berkomitmen untuk waktu yang lama HAHA). Sedangkan saya sekarang sudah menikmati hari saya di bidang yang jauh berbeda dengannya. Hehe.

Sekarang sudah memasuki penghujung tahun 2015 dan seri ini masih mandek di angka 27. Agak sedikit menyedihkan dan miris. Oleh karena itu, saya berniat untuk menyelesaikan seri inisebelum akhirnya saya harus membeli kalender baru. Meskipun rencana awalan seri ini akan selesai dalam waktu 30 hari, ternyata saya butuh waktu 20 bulan untuk menyelesaikan seri ini. Mungkin ini pengingat, betapa saya masih rawan pada penyakit lupa, penyakit rendah gairah dan penyakit mengubur dengan cara kabur yang ada di dalam diri saya.
Oke. Pengakuannya sampai di sana saja ya~ heu.

Di tulisan ini saya akan bercerita tentang lagu-lagu yang saya dengarkan berulang kali di berbagai situasi. Saya bercermin dan melihat cerminan mereka yang saya kasihi di lagu-lagu ini. Kerap kali, ketika saya ada di kondisi berkabut, tanpa sadar saya menyanyikan lirik-lirik lagunya. Saya bersenandung, kemudian mengingat, kemudian terdiam. Kadang tersenyum, atau kadang berakhir dengan berbagai temali di jantung. Jika saya rangkum, mungkin tahun 2015 saya ada di lagu-lagu ini.

1. Akira Kosemura – Nocturne
2. Bertemusik – Will You Coming Home?
3. Gardika Gigih, Frau, Layur – Tenggelam (I’ll Take You Home)
4. Gregory and The Hawk – Boat and Birds
5. Kaki King – Everything Has an End, Even Sadness
6. KarnaTra – Gadis Hujan
7. Laura Marling – Failure
8. Luluc – Reverie in Norfolk Street
9. Neil Young – Harvest Moon
10. Rachel Sermani – Waltz
11. Sharon Van Etten – Afraid of Nothing
12. The Avett Brothers – Life
13. The Cranberries – Roses
14. The Paperkites – St. Clarity
 15. White Shoes and The Couples Company – Today is No Sunday

Entah lagu-lagu ini lirisnya tahun berapa, yang pasti mereka mengisi hari-hari saya di tahun 2015. 2015 yang rasanya sungguh campur aduk. Campur aduk. Campur aduk. Campur aduk.
Alhamdulillah. Semoga kita selalu diberi kesempatan untuk belajar dan bersyukur. Semoga kita selalu ada dalam berkah kasih sayang dan lindungan Yang Maha Menggenggam semesta dan kita di antara jemariNya. Semoga langkah kita selalu dalam ridhaNya. Semoga apa yang kita jalani sekarang selalu membawa kebaikan, untuk kita, untuk orang di sekitar kita.

Ya. Muhasabahnya sudah selesai. Kalau di kantor, Salsa mungkin kadung kesel gara-gara berdoanya kepanjangan lalu menatap saya dengan tatapan yang jika diterjemahkan akan berbunyi seperti ini: “Bu, sayur daging sapi saya keburu dingin lagi nih nunggu ibu berhenti curhat.”

Heu. Trims.

p.s: ditulis entah sejak kapan di kepala. Ditulis ketika saya rindu. Memikirkan apakah dia terbuai lautan. Apakah dia akan pulang dalam keadaan sehat. Apakah dia akan kembali baik-baik saja. Dan hal lain di antaranya.
p.s.s: saya ingin minum kopi, sekuat dan sepahit yang biasa saya minum di tahun 2013. Namun ternyata nyonya lambung tak kuasa, dia meronta terluka. Masih pantaskah saya jadi peri robusta?
p.s.s.s: kemudian ditulis di antara rekaman petikan gitar yang dikirimkan melalui udara.
p.s.s.s: selamat tidur nyenyak.


Sunday 25 October 2015

Surat untuk Rinjani: Tentang Luka Itu Sendiri

Rinjani.
Maaf harus mengatakan ini di awal. Tapi kamu akan banyak terluka. Dan ketika kamu luka, peluk luka itu dengan hati lapang. Jangan berlari. Ibumu ini pelari handal, dan lihat apa yang terjadi padanya karena dia gemar sekali berlari. Peralihannya begitu cepat, ya di beberapa kesempatan dia tak merasakan sakit karena luka. Dia tetap berjalan tegap, tampak baik-baik saja. Tampak sekuat perawan perak di legenda yang kamu baca. Tapi Rinjani, itu harus dibayar mahal dengan keseimbangannya yang buruk. Ibumu kerap tiba-tiba jatuh, tiba-tiba kelabu padahal hari masih panjang. Jadi, jangan berlari dari lukamu. Jangan. Jangan. Jangan.

Rinjani.
Tubuhmu adalah sarana dan media belajarmu. Luka yang kamu peroleh akan mengajarkanmu banyak hal. Tentang apa yang perlu kamu jaga, tentang apa yang perlu kamu pertaruhkan dan tentang apa yang perlu kamu relakan. Janganlah kamu terlalu terkejut jika sebagian besar lukamu kamu dapatkan dari mereka yang terdekat denganmu. Jangan terlalu terkejut, sayang. Luka-luka itu adalah apa yang akan mengajarkanmu tentang dirimu dan tentang mereka.

Rinjani.
Tentang lukamu, kelak, belajarlah bersabar. Entah kamu akan mendapatkan luka itu dengan cara bagaimana dan dibalik cerita seperti apa. Tapi yang pasti, belajarlah bersabar. Ada hal-hal di luar kuasamu. Ada terlalu banyak hal di balik itu, dibalik hal yang menjadi tujuanmu, dibalik hal yang kamu pedulikan. Oleh karena itu perlulah kamu belajar untuk bersabar. Belajarlah untuk menerima bahwa kamu hanya bisa berusaha sekuat tenaga dengan setulus yang kamu mampu lalu pada akhirnya menyerahkannya pada Yang Maha Menggenggam semestamu di antara jemariNya.  Belajarlah untuk menerima batasanmu, untuk menerima porsimu. Karena sayang, menjadi tepat guna dan efektif lebih baik dari pada menjadi impulsif. (Perkara impuls itu tentu kamu bisa berkaca dariku dan melihat dampaknya… how messy and how clumsy your mother on handling thingssssssssss..)

Rinjani…
Terakhir. Tentang lukamu, jangan paksa orang lain untuk memahami lukamu. Manusia, akal pikiran manusia akan selalu terbatas. Jadi, lagi-lagi, ikhlaskan. Jika mereka tak memahamimu, tak apa. Pulanglah padaku. Aku tak menjanjikan bahwa aku akan memahamimu. Tapi yang pasti, aku akan merentang lengan untuk memelukmu, dan menyeduh sesuatu yang hangat untuk menemanimu memuntahkan segala yang kamu rasa perihal luka itu. Muntahkan. Mungkin aku dan mereka tak akan memahami, tak akan langsung memahami. Tapi hanya dengan begitu, sebagian lukamu akan menemukan obatnya sendiri. Hadapi dan peluk lukamu dengan berani. Sebagai mana yang dia ajarkan. Karena dengan begitu, dengan memeluk dan menghadapi lukamu, kamu akan dengan mudah mengenali luka orang lain. Dengan begitu, kamu akan lebih mudah membantu mereka. Dengan begitu, kepedulianmu bisa kamu salurkan dengan tepat.

See you when I see you, Sayang.
Ibumu, 
yang kerap kali, bicara sendiri dengan suara lantang di depan umum.
Si Kacang Kedelai yang sekarang jadi Kecambah.

p.s: Ditulis dengan lagu latar Bonita - … Laju (album).
p.s.s: Dan tentang jarak, yang merentang, bukan hanya perkara geografis. Tapi lebih dari itu.
p.s.s.s: Dan tentang perempuan kesayangan yang selalu direngkuh kasihNya. Karena mereka adalah apa yang menguatkan, apa yang mengingatkan. Tentang apa itu merawat. Juga tentang pulang dan jalan pulang.

Thursday 24 September 2015

Surat untuk Rinjani: Tentang Melihat Bagaimana Semesta Bekerja

Kepada Rinjani sayang yang mungkin sedang menghabiskan waktu main catur di taman paling cantik milikNya.

Beberapa waktu ini, sedikit banyak, aku memikirkanmu. Kerap kali di waktu senggang memang, atau beberapa saat sebelum aku terlelap.
Kamu apa kabar? Jangan terlalu banyak jail sama teman-temanmu di sana ya.

Jan, banyak hal terjadi sejak terakhir kali aku menuliskan apa yang menggedor batok kepalaku selantang ini, yang kemudian dengan sedikit serampangan kutujukan padamu. Yes, its been a while. Biasanya aku hanya membisikkannya sambil lalu di sebatang pohon atau menitipkan rahasianya ke siklus bulan. Kamu tahu beberapa waktu ini aku baru saja menemukan diriku menghabiskan terlalu banyak waktu untuk menatap siklus bulan yang kupikir tak menarik perhatianku sama sekali. Kupikir aku hanya tertarik pada purnama, tapi ternyata aku pun terperangkap di lengkung tipis bulan baru di langit malam. Bahkan aku menemukan bulan di langit pagi pun sama-sama memengaruhi sesuatu di dalam diriku. Dua siklus itu entah mengapa terasa begitu sederhana. Keduanya samar, memang.  Tapi di antaranya aku tetap memikirkan kamu dan sedikit ini dan itu.

So… Here the news:
1. Aku patah hati. Bukan berita baru, but still~
2. Aku lulus kuliah, Jan. Resmi jadi S. Ya, ini butuh waktu lama, aku tahu. Tapi memang butuh agak sedikit lebih lama untuk menciptakan masterpiece. Dan butuh beberapa kekacauan untuk menciptakan bintang yang menari, kan?
Wahahahaha.. pipis kuda. Bercanda, Jan. Jangan kerutkan dahimu begitu. Kamu tahu sendiri aku membutuhkan waktu lama karena aku terlalu malas untuk menulis. Bagian ini, tolong jangan ditiru ya. Kamu harus yakin pada pepatah kuno yang mengatakan bahwa: “Mager (males gerak) itu penyakit.” Ibumu ini sakit akut, jadi kamu jangan tiru ya. Mungkin sebaiknya kamu meniru Nenekmu, the First Lady yang selalu semangat melakukan ini itu dari subuh sampai malam tiba.
ini the First Lady

3. Sekarang aku aktif bekerja di salah satu yayasan dan biro psikologi yang memfokuskan diri di perkembangan anak. Nanti harap maklum jika sedikit-sedikit aku mengecek perkembanganmu ya. Wah, aku juga sedang belajar untuk memilah metode ini dan itu untuk menemanimu belajar nanti. Aku sedang belajar agar tak sekedar sayang padamu, aku harus juga mendidikmu dan mendidik diriku sendiri agar kuat dan tepat guna dalam menjalani hari. (Hm. Tepat guna.)
tempatku bekerja, kebun canda tawa.

4. Sekarang nada bicaraku lebih ada intonasinya, Jan. Lebih ekspresif. Tidak terlalu monokromatik lagi. Kamu tahu, bicara dengan anak-anak di tempatku bekerja sangat menyenangkan. Mereka pendengar yang baik, mereka juga kerap kali membuatku tertawa karena tingkah laku mereka yang sederhana.
rekan gulatku~

5. Aku sekarang sedang berusaha untuk menceritakan hal-hal lewat nada. Rekanku bernama Gabrielle. Mungkin kamu akan berkenalan dengannya. Mungkin. Aku tak bisa memastikan apapun.
dengan Gabrielle~
6. Kusedang menabung dan merencanakan hal-hal. Semoga direstui olehNya. Semoga kamu tak keberatan dengan rencanaku.

Itu kabarnya. Ada beberapa hal remeh temeh juga yang ingin kusampaikan padamu. Tapi ya.. mungkin akan kusampaikan lewat akar pohon yang kutanam saja.

Oiya Jan, aku hendak minta tolong padamu sesuatu. Nanti, jika aku lupa, tolong ingatkan aku untuk terus belajar tentang tulus dan ikhlas. Kamu tau, Jan. Ikhlas dan tidak melakukan apapun adalah hal yang berbeda. Jadi, tolong ingatkan aku untuk IKHLAS dan mengingat bahwa kita ini manusia. MANUSIA, bukan ROBOT.

Jan, Rinjani, Injan Sayang..
Ingatkan aku untuk terus belajar supaya menjadi baik, semakin baik dan bisa berbuat baik untuk orang lain. Sebagai mana kebaikan orang lain membuatku tak merasa tinggal di semesta yang buruk. Hey, the world is fucked up. I know it is. Tapi kuyakin kamu akan selalu bisa melihat kebaikan di antaranya. Sayangku, mari kita belajar berempati bersama. Empati, bukan sekedar simpati. agar kita bisa melihat bahwa semesta ini purna warna. Dan itu yang akan menjadi bahan bakarmu untuk terus berbuat baik.  Kuharap  itu yang akan menjadi bahan bakarmu untuk menegurku jika aku berperilaku keliru. Jika kepalaku sekeras batu ketika kamu berusaha mengigatkanku, tolong jadi lebih keras lagi dan bentur aku menjadi serpihan. Atau bawa aku untuk bercermin, agar kulihat sendiri betapa tidak aduhainya perilakuku. Hiks.

Duh, jika menulis lebih banyak mungkin kamu akan berpikir bahwa aku sedang berusaha untuk membentukmu jadi perempuan punk. Hahahahahaha sialan.

See you, Sayangku. Not so soon, but still, see you. See you when I see you.
Ibumu, Si Kacang Kedelai.

P.s:
Dibuat dengan lagu latar The Paperkites - St. Clarity
P.s.s:
Nggak sabar buat main warna sama kamu nanti. Ayo kita coret-coret tembok ruang baca bapakmu. Hahahaha
P.s.s.s:
Nanti kamu bebas mau panggil aku apa. Asal nggak manggil Ratu Buaya Putih aja. Itu terlalu ekstrim.
P.s.s.s.s:
If you want Him to, please ask Him to knock the door. :) 


Sunday 28 June 2015

Kejora

Setelah dua minggu menanti, akhirnya pada hari Minggu kedua bulan ketiga pada saat bulan purnama, “Ibuku” melahirkanku ke bumi. Sebelumnya dia telah lebih dulu melahirkan dua kakak perempuanku yang kembar. Ibuku melahirkanku di atas sebuah kain dengan ukuran 50cm x 120cm. Saat pertama kali aku membuka mataku, aku melihat dua pasang mata yang menatapku penasaran. Sepasang mata pertama tentu saja mata Ibuku. Nah yang kedua, entah mata siapa. Yang kutahu, mata itu hitam, bulat dan berbulu mata lebat.
Pada awalnya saat dilahirkan, rambutku ikal tebal berwarna biru pekat, bibirku pun sudah merah dan penuh dengan gairah. Lalu kudengar perempuan bermata bulat itu berbisik pada ibuku, “Mari kita tambahkan debu bintang kejora di rambutnya, agar dia semakin jelita”. Mendengarnya bicara begitu, sungguh aku ingin tersipu. Namun ibuku terlanjur melahirkanku seperti perempuan dingin tanpa ekspresi. Jadi aku hanya menatapnya. Berharap dia bisa merasakan bahwa aku berterima kasih atas usulannya. Selama proses aku dilahirkan, perempuan bermata bulat itu terus menatapku sambil tersenyum kecil. Dia berkata pelan, “kita berjodoh.”, karena aku tak tahu artinya, maka aku tak menanggapi apapun. Aku hanya balik menatapnya sambil membenarkan letak bunga kamboja putih yang ibu sematkan di kedua daun telingaku.
Di samping ruangan, aku melihat kedua kakak kembarku menatapku cemburu, dan menatap perempuan bulat itu dengan sedikit dengki. Sepertinya mereka kecewa karena ibu tidak menabur debu bintang kejora juga di rambut mereka. Sebagai mana semua ibu di muka bumi, Ibuku pun enggan dinilai pilih kasih. Maka dia pun menaburkan sisa debu bintang kejora ke rambut kedua kakakku. Rambut mereka pun kini terlihat secantik milikku. Namun tetap saja, amarah di mata keduanya tak juga hilang. Mereka malah makin cemburu padaku.
Pada suatu hari ketika cahaya matahari menutupi bulan dengan sempurna, Ibuku berbisik pada kedua kakak kembarku, “Kalian harus pergi ke suatu tempat di mana gumpalan es seputih salju turun dari langit. Tinggalah di sana dan belajarlah arti berbagi.” Setelah itu kedua kakak kembarku yang selalu berdempetan pergi mengikuti titah Ibu. Tak lama Ibu menatapku, lalu berbisik pelan, “Ibu pun harus segera melepasmu. Akan ada seorang anak perempuan yang biasa menenun mimpi di bulan yang akan menjemputmu. Ingat, indahnya debu bintang kejora yang terlukis di rambutmu adalah hadiah dari perempuan ini. Dia mengumpulkannya di sela-sela kesibukannya menenun mimpi. Jadi kamu harus selalu ada di sampingnya, terutama ketika dia hendak tidur. Namun jika kau lihat dia jatuh cinta, berikanlah hatimu padanya. Lalu kembalilah ke wujudmu yang semula saat pertama kali kau kulahirkan. Jika dia patah hati karena cintanya, maka jantungmu akan membuatnya terus hidup. Jika dia bahagia dalam hidupnya, maka kau akan dipertemukan lagi dengannya dalam bentuk lain.”
Mendengarnya, aku menatap Ibu penuh tanda tanya. Mengapa aku harus menjaganya ketika dia hendak pergi tidur? Kuyakin Ibu tahu pertanyaanku, namun ibu memilih untuk tidak menjawab dan mengunci pintu kamarku.
Setelah menanti selama 40 hari di ruangan kamarku yang dikunci Ibu, akhirnya perempuan yang Ibu janjikan datang menjemputku. Saat kulihat matanya, aku langsung mengenalinya. Dia perempuan yang sama dengan perempuan yang ada di saat aku dilahirkan. Matanya masih sama, hitam segelap malam. Namun sekarang ada kerlip sendu di sana. Dia menatapku, menggendongku dan membawaku pergi dari kamarku yang gelap. Dalam dekapannya saat menggendongku, aku bisa mendengar degup jantungnya yang lemah. Diam-diam aku khawatir padanya. Diam-diam aku merasa kasihan padanya. Diam-diam aku merasa dia begitu tak asing bagiku, terlepas dia memang ada di saat aku dilahirkan.
Dalam dekapannya saat membawaku pergi, aku berusaha untuk tidak bergerak sama sekali, berusaha untuk tidak mengusiknya sama sekali. Lalu tiba-tiba dia melepaskanku dan membantuku untuk merasa nyaman tinggal di ruang pribadinya. Di miniatur tempat dia menenun mimpi.
Sejak itu aku selalu mengiringi kegiatannya di semestanya. Dia kerap bercerita padaku. Atau berbicara sendiri. Aku di sana, selalu di sana. Mendengarkannya dan memperhatikannya. Menyaksikannya menenun mimpi, menyaksikannya menabur harap, menyaksikannya menuai asa, dan menyaksikannya membakar duka. Ah, aku juga kerap menyaksikannya menulis surat panjang tentang bagaimana dia berharap segera ditemukan, namun dia pun ketakutan untuk menemukan dirinya sendiri. Karena itu, dia kerap menanam pohon di hutan tadah rindu yang pucuk daun paling mudanya akan membisikkan lagu cinta paling romantis yang akan menuntunmu menemuinya.
miniatur semesta di mana dia biasa merajut mimpi

Namun ada hal yang ganjil pada dirinya. Dia memiliki rutinitas untuk kembali terlelap sebelum tengah malam. Benar kata ibuku, aku harus terus menjaganya. Terutama ketika dia akan terlelap. Karena baginya, pergi untuk tidur selayaknya pergi berperang. Entah dengan siapa. Entah dengan apa. Namun yang kutahu pasti, jika dia pergi tidur setelah tengah malam, selalu ada luka goresan di kulit lengannya. Karena itu, sebisa mungkin aku mengikuti titah ibuku untuk menjaganya. Aku akan setiap mengusap kepalanya jika ia terisak di antara tidurnya. Selalu sedia bersenandung kecil di antara igauannya tentang ombak pasang laut yang menelannya bulat-bulat dan tak akan membiarkannya pulang.
Lalu di tahun ke lima sejak aku mengenalnya, akhirnya aku melihatnya kasmaran. Dia jatuh cinta pada seorang laki-laki yang berasal dan tumbuh besar di laut selatan. Kudengar percakapan mereka ketika saling menggambarkan rencana tentang rumah masa depan yang akan mereka tempati bersama. Tentang sebuah ruangan 3 x 4 tempat mereka akan bercinta di antara halaman buku dongeng yang dia baca. Dia memerah setiap kali bercakap-cakap dengan laki-laki laut ini. Dia bahkan terlelap dengan lebih damai, dengan lebih sedikit luka yang menggoresnya.
Suatu hari, aku melihatnya menulis sebuah surat untuk kekasihnya. Setelah kuintip, ternyata isinya seperti ini:
Terimakasih untuk doa dan harapan yang kamu lantunkan di setiap malam ketika saya sudah terlelap. Karena mereka---doa dan harapan yang kamu lantunkan---adalah satu dari sekian hal yang menjaga saya. Karena merekalah saya menjadi yakin kalau kita telah sepakat. Karena itu saya percaya, bahwa apa yang kita tuju sudah berfusi menjadi satu. Karena seperti apa yang kamu katakan sebelumnya, bahwa kita berasal dari Satu yang berevolusi menjadi sepasang. Dua terbilang. Kita adalah sepasang. Sebuah perjalanan dan jalan pulang. Oleh karena itu, izinkan saya untuk ikut melantukan harapan, agar kita, saya, kamu, selalu dalam lindungan dari yang Maha Pengasih. Semoga apa yang kita bagi bersama merupakan benar adanya adalah hadiah dan berkah yang paling indah dariNya.”
Membaca isi surat itu, aku rasa degup jantungku berhenti. Aku ingat pesan ibuku. Jika kulihat perempuan ini jatuh cinta, maka aku harus kembali ke wujud pertamaku saat dilahirkan. Aku harus memberikan jantungku padanya, agar dia bertahan jika harus patah hati karena cintanya.

Dengan perasaan penuh pada jantungku, aku meraih sehelai rambutku yang berkilau karena debu bintang kejora. Lalu kupintal menjadi sebuah jarum. Dengan jarum itu, aku membelah jantungku dan menanamnya di dalam dirinya ketika terlelap. Setelah itu, aku kembali ke wujudku semula. Kembali pulang ke kain di mana aku dilahirkan dan dilukiskan. Tak berharap untuk kembali dipertemukan dengannya.


p.s: ditulis Mei 2015.
p.s.s: belum mampu menulis. ada jeda kosong di antara pola yang biasa dirajut.
p.s.s.s: diunggah dengan lagu latar luluc - tangled heart.

Saturday 28 March 2015

Surat untuk Rinjani: Balon Pikiran Pasca Konser Anak Sungai

Kepada Neng Rinjani yang mungkin sekarang lagi main ucing sumput atau bebentengan di taman indah berwarna mejikuhibiniu milik Yang Maha Pengasih..

Neng, kangen. Seminggu terakhir ini kepikiran kamu aja. Kepalanya akhir-akhir ini lagi ribut terus. Hujan badai kayaknya di dalam kepala. Ingin manggil kamu. Ingin minta ditemani kalau lagi ngerasa sendiri dan berat mengambil langkah. Mungkin kalau ada kamu, akan selalu ada yang menggerakkan, mengingatkan, dan melembutkan kepala yang sekeras batu ini.

Aku sedang cemas, neng. Takut nggak cukup kuat untuk kamu. Takut nggak cukup menyediakan dan menemani kamu merajut harap, mimpi dan asa. Nggak cukup kuat mengingatkan kamu untuk kembali bangun meskipun gravitasi memaksamu jatuh berulangkali. Nggak mampu mengajarkan kamu untuk melampaui dirimu sendiri, karena mungkin faktanya aku sebagai ibu juga nggak bisa melakukan itu. Takut itu kejadian, neng.
Tapi.. kecemasan itu sedikit banyak sudah luruh sekarang, neng. Kayaknya sekarang sudah kembali yakin. Mungkin kamu ketika baca ini berpikir:  “Kenapa luruh cemasnya? Lihat apa? Ngobrol sama siapa? Akhir-akhir ini kan lebih banyak ngomong sama kepala sendiri daripada sama manusia”.

Iya, neng. Memang sekarang aku lagi banyak ngobrol sama kepala sendiri. Tapi ya neng, kemaren teh aku nonton konser launching album deugalih and folks. Cari di lemari kamu deh, ada CDnya, Anak Sungai, yang album artworknya warna hijau. Nah jadi yah pasca konser sedikit banyak, hujan badai di kepalanya mereda. Mungkin sekarang tinggal hujan rintik-rintik. Kenapa coba~ mau tahu kenapa gak, neng?

(oke, kamu gak mau tahu juga aku bakal tetap melanjutkan menulis surat ini, neng. Haha.)

Jadi, ketika konser, saat aku melihat dan mendengar.. aku merasa, aku sedang melakukan komunikasi dua arah dengan mereka. Mereka bicara tentang hidup, tentang proses dan fase yang mereka lalui sampai pada akhirnya lahirlah anak sungai. Anak Sungai yang akan menemani kamu bermain dan belajar nanti.

Aku mendengar, lalu aku mengingatmu, mengingat diriku sendiri, mengingat perempuan yang sangat kusayangi yang menonton konser ini juga dan terus menerus menepuk punggungku saat konser sambil terus berbicara: “sumpah, kang galih keren banget. Gantengan ya”. (Ganggu ya neng, padahal aku lagi konsentrasi mikirin hal-hal, tapi si eta ribut wae. Ya sudah lah, mari lanjut.) 

Neng, aku pikir kamu akan banyak belajar dari album ini, sebagai mana diriku. Di sini mungkin kamu akan banyak bercermin, melihat refleksi dirimu. Lalu saat kamu melihat orang lain, kamu akan kembali bercermin. Kemudian tumbuh dari sana. Jangan lupa untuk terus bercermin, karena itu yang akan terus membuatmu membumi. Dengan begitu kamu akan mampu bersimpati dan berempati. Menghargai perbedaan. Diversity is fine, diversity is good, neng. Nanti kamu menemukan manusia dengan warna, bahasa, dan cara  berkomunikasi dengan tuhannya berbeda dengan kamu. Mungkin kamu juga akan menemukan manusia yang orientasinya berbeda dengan kamu. Tapi tetap, berbuat baik, neng. Jangan berperilaku keliru.

Jangan ragu. Jangan terlalu banyak membuaang waktumu untuk mempertimbangkan hal-hal sepertiku. Kamu harus berani, membela yang kamu yakini benar dan melindungi orang-orang baik yang kamu kasihi. Ingat, dengan bercermin, banyak bercermin, kamu akan bisa mengenali semua sisimu. Jika kamu mengenali semua sisimu, maka gak akan ada orang yang bisa menggunakannya untuk melemahkanmu. Itu juga akan bisa membantumu melewati segala sesuatu. Mengenali semua sisimu, maka kamu akan lebih mudah untuk mengenali semua sisi manusia lain. Dengan begitu, kamu akan dengan mudah berbuat baik untuk mereka.

Remember: be tough, be strong, be kind. Play and dance along with universe~ and ofcourse "we can share our pain, my friend. there'll be no pain at all." :) ily.

ttd.
Peri Robusta, Ibumu, yang kerap kali, lagi-lagi goyang gurita tanpa tahu tempat.

p.s: Neng Rinjani, nanti harus saling jaga ya sama Senja. Meskipun kalian akan tumbuh dengan genre yang bersebrangan, tapi dia saudari kamu (mekipun beda mamak dan beda bapak). Ajarkan juga bagaimana caranya rebel dan bahwa kegelapan melindungi semua warna. HA HA. 

p.s.s: kepada akang-akang yang ada di Deu Galih and Folks, terimakasih sudah berkarya. It really is worth to wait. Saya mengikuti musik kalian dari schizophone, dan juga musik yang dilahirkan solo. DeuGalih: a journey, Galant: about A, Yadi Cubek: Oracle dan.. satu lagi albumnya tapi lupa namanya (yang liriknya the gini: apakah kau *lupa lirik.*, lalu kubisikkan kata cinta.. dan harapan. Hahaha). Terimakasih sudah menemani belajar hal-hal melalui karya. Sebagai adik--ini self claim banget ngaku adik, karena saya lebih muda doang haha--beda bapak beda ibu, saya sangat bangga~ Saya tunggu lagi album keduanya (teasernya oh my god, keren visundhhhhh! gusti allah, paringono sabar buat menanti yang kedua. Yea, sehat selalu. god speed~)