Saturday 23 November 2013

Saya Membaca, Kemudian Jatuh Cinta

Halo. Apa kabar?
Post kali ini lagi-lagi disponsori oleh sebuah pertanyaan di akun ask.fm saya. Lain dari biasanya, saya memerlukan waktu agak lama untuk menjawab pertanyaan ini. It took me 1 sks to answer this question. Pertanyaannya seperti ini: “neng, kenapa suka baca?”

Kurang lebih begitu. Karena pertanyaan ini, saya dengan sembrono—tanpa mempedulikan nyonya lambung yang sedari kemarin meriang dangdut—menyeduh secangkir kopi dan duduk di dekat kolam ikan di halaman belakang. Dengan dramatis… saya menatap ikan koi yang nampaknya hidupnya sangat tenang. Ah ibunda, satu pertanyaan singkat mampu menyeret anakmu ini ke lorong ruang dan waktu yang berbeda dengan realitas yang dipijak kakinya yang kecil.

Ikan berenang dalam kolam, dan saya berenang dalam memori. Mencoba mengingat. Kenapa ya saya suka baca? Kenapa saya berlari dari realitas lewat buku? Ih, tapi kan kata David Mitchell, baca buku itu bukan bentuk lari dari realitas, bukan bentuk eskapisme. Tapi adalah sebuah cara, supaya they can stop tscratching itself raw.

Jika itu bukan bentuk eskapisme, maka… postulatnya adalah: saya membaca sebagai bentuk sublimasi energi. Untuk meredakan kecemasan saya, untuk merentang kumparan konstelasi semesta lain di kepala saya, dan untuk mendekatkan saya dengan manusia lain. Mendekatkan saya dengan kamu.

Saya suka membaca karena membaca mengantarkan saya ke sebuah pintu bernama posibilitas. Dari sana saya belajar menyusun makna dan berpindah dari satu makna ke makna lain. Dari sana saya meraba lapisan kontruk kesadaran berbagai macam manusia. Manusia yang pada akhirnya saya kagumi proses-prosesnya. Dari sana saya belajar mencintai. Dan dari sana, saya belajar menulis.

Ijinkan saya bercerita, buku cinta pertama saya adalah sebuah dongeng anak-anak. Dengan ilustrasi cat air yang indah. Satu paket buku dongeng H.C Anderson sebesar kurang lebih 1 meter. Saya dengan takjub menatap ilustrasinya, dengan terbata-bata belajar mengeja karena ibu saya sudah lelah membacakannya untuk saya. Jika sudah dengan buku itu saya lupa waktu. Setelah itu, ibu membelikan saya banyak buku dongeng lain. Dalam basa Sunda. Ah saya begitu ingat dongeng Nini Anteh yang menenun kain di bulan, dan Budak Pahatu Lalis—sepasang kakak-beradik yatim piatu—yang berjalan di hutan. Buku-buku dongeng basa Sunda sudah habis saya baca. Saya mulai bosan. Akhirnya, ibu membelikan saya buku dongeng lain. Buku dongeng yang ada dalam Al-Quran. Saya berkenalan dengan pasangan Adam dan Hawa. Berkenalan dengan Muhammad kecil yang gemar mendengarkan cerita dari Kakeknya yang kharismatik di bawah hamparan langit berbintang.

Tak lama, buku dongeng dalam Al-quran itupun selesai saya baca. Enggan kehabisan bahan bacaan, saya mulai menjelajahi rak buku Ayah saya. Kemudian menemukan buku dengan sampul indah. Judulnya pun meskipun sendu, terdengar indah: Sayap-Sayap Patah. Di sana, saya kembali jatuh cinta. Mungkin saya tak paham isi bukunya, namun tetap saja. Aksara yang tertera di buku itu, membuat saya tak bisa berhenti membaca. Rasanya indah tapi menyedihkan. Rasanya aneh. Karena penasaran, saya bertanya pada Ayah saya. Siapa penulisnya. Ayah saya berkata, penulisnya bernama Kahlil Gibran. Seorang penulis asal Lebanon. Saya belum tahu, dimana itu Lebanon. Dan siapa itu Kahlil Gibran. Tapi tetap saja terdengar seperti seorang penulis dari negeri khayalan.

Duduk di bangku sekolah menengah, saya mengalami cinta monyet saya yang pertama seperti remaja pada umumnya. Saya jatuh cinta pada seorang pria. Saya jatuh cinta pada sosok Mpret yang dilukiskan Dewi Lestari dalam buku seri supernova: Petir. Saya jatuh cinta pada matanya. Saya jatuh cinta pada sikapnya yang peduli. Di masa ini juga saya berkenalan dengan Raden Mas Minke. Berkenalan dengan Harry Potter. Saya curi-curi membaca cerita perjalanan hidup Raden Mas Minke di pelajaran PKN ketika kelas dua SMP. Haha, saya duduk di bangku paling belakang, membaca sambil mendengarkan lagu Simple Plan – Perfect. Baru beberapa tahun kemudian saya menyadari bahwa Mingke tidak grew up according to his parent’s plan. Bhahaha. Betapa semesta in sync sedari dulu. Jauh sebelum saya menyadari kekuatan magis yang berkelindan di antaranya.

Saya jatuh cinta berulang kali. Saya membaca, kemudian jatuh cinta. Untuk meredakan sakitnya, saya menulis. Saya kembali ingat bahwa saya jatuh cinta sesering itu karena pertanyaan singkat tadi. Betapa manusia pelupa. Karena manusia pelupa maka kalimat pertama yang diturunkan oleh Dia Yang Maha Pengasih adalah: “Bacalah. Dengan nama Tuhanmu yang menciptakan”. Karena manusia pelupa—dan racun paling bahaya adalah lupa—maka Dia menyebar banyak pesan agar kita kembali ingat. Jadi saya mencoba untuk menelusuri ketidaksadaran kolektif yang berkaitan erat dengan pesan-pesanNya yang tersebar dalam buku-buku.

Saya suka membaca, karena itu mengantarkan saya pada menulis. Seperti yang saya bilang sebelumnya, saya menulis untuk meredakan rasa sakit akibat jatuh cinta. Jadi bagi saya, menulis adalah sebuah sarana. Anggap saja saya menulis sebuah peta agar saya tidak tersesat. Agar saya ingat, apa yang sama mau dan kemana arah yang saya tuju. Agar saya tidak kehilangan diri saya sendiri selama perjalanan.

Jadi, sekian renungan satu sks saya mengenai kenapa saya suka membaca. Mungkin ada beberapa hal yang terlupakan. Tapi kan manusia memang pelupa. Jadi ya…. sudahlah. Sekian dan terimakasih.

See you soon.
Isti Bani, Kacang Kedelai.