Halo. Apa kabar?
Post kali ini lagi-lagi disponsori oleh sebuah
pertanyaan di akun ask.fm saya. Lain dari biasanya, saya memerlukan waktu agak
lama untuk menjawab pertanyaan ini. It took me 1 sks to answer this question. Pertanyaannya seperti ini: “neng, kenapa suka baca?”
Kurang lebih begitu. Karena pertanyaan ini, saya dengan
sembrono—tanpa mempedulikan nyonya lambung yang sedari kemarin meriang dangdut—menyeduh
secangkir kopi dan duduk di dekat kolam ikan di halaman belakang. Dengan dramatis… saya menatap ikan koi yang nampaknya
hidupnya sangat tenang. Ah ibunda, satu pertanyaan singkat mampu menyeret
anakmu ini ke lorong ruang dan waktu yang berbeda dengan realitas yang dipijak
kakinya yang kecil.
Ikan berenang dalam kolam, dan saya berenang dalam memori. Mencoba
mengingat. Kenapa ya saya suka baca? Kenapa saya berlari dari realitas
lewat buku? Ih, tapi kan kata David Mitchell, baca buku itu bukan bentuk lari
dari realitas, bukan bentuk eskapisme. Tapi adalah sebuah cara, supaya they can
stop tscratching itself raw.
Jika itu bukan bentuk eskapisme, maka… postulatnya adalah:
saya membaca sebagai bentuk sublimasi energi. Untuk meredakan kecemasan saya,
untuk merentang kumparan konstelasi semesta lain di kepala saya, dan untuk
mendekatkan saya dengan manusia lain. Mendekatkan saya dengan kamu.
Saya suka membaca karena membaca mengantarkan saya ke sebuah
pintu bernama posibilitas. Dari sana saya belajar menyusun makna dan berpindah
dari satu makna ke makna lain. Dari sana saya meraba lapisan kontruk kesadaran berbagai
macam manusia. Manusia yang pada akhirnya saya kagumi proses-prosesnya. Dari sana saya belajar mencintai. Dan dari
sana, saya belajar menulis.
Ijinkan saya bercerita, buku cinta pertama saya adalah
sebuah dongeng anak-anak. Dengan ilustrasi cat air yang indah. Satu paket buku
dongeng H.C Anderson sebesar kurang lebih 1 meter. Saya dengan takjub menatap
ilustrasinya, dengan terbata-bata belajar mengeja karena ibu saya sudah lelah
membacakannya untuk saya. Jika sudah dengan buku itu saya lupa waktu. Setelah
itu, ibu membelikan saya banyak buku dongeng lain. Dalam basa Sunda. Ah saya
begitu ingat dongeng Nini Anteh yang menenun kain di bulan, dan Budak Pahatu
Lalis—sepasang kakak-beradik yatim piatu—yang berjalan di hutan. Buku-buku
dongeng basa Sunda sudah habis saya baca. Saya mulai bosan. Akhirnya, ibu
membelikan saya buku dongeng lain. Buku dongeng yang ada dalam Al-Quran. Saya
berkenalan dengan pasangan Adam dan Hawa. Berkenalan dengan Muhammad kecil yang
gemar mendengarkan cerita dari Kakeknya yang kharismatik di bawah hamparan
langit berbintang.
Tak lama, buku dongeng dalam Al-quran itupun selesai saya
baca. Enggan kehabisan bahan bacaan, saya mulai menjelajahi rak buku Ayah saya.
Kemudian menemukan buku dengan sampul indah. Judulnya pun meskipun sendu,
terdengar indah: Sayap-Sayap Patah. Di sana, saya kembali jatuh cinta. Mungkin saya tak paham
isi bukunya, namun tetap saja. Aksara yang tertera di buku itu, membuat saya
tak bisa berhenti membaca. Rasanya indah tapi menyedihkan. Rasanya aneh. Karena
penasaran, saya bertanya pada Ayah saya. Siapa penulisnya. Ayah saya berkata,
penulisnya bernama Kahlil Gibran. Seorang penulis asal Lebanon. Saya belum
tahu, dimana itu Lebanon. Dan siapa itu Kahlil Gibran. Tapi tetap saja
terdengar seperti seorang penulis dari negeri khayalan.
Duduk di bangku sekolah menengah, saya mengalami cinta
monyet saya yang pertama seperti remaja pada umumnya. Saya jatuh cinta pada
seorang pria. Saya jatuh cinta pada sosok Mpret yang dilukiskan Dewi Lestari
dalam buku seri supernova: Petir. Saya jatuh cinta pada matanya. Saya jatuh
cinta pada sikapnya yang peduli. Di masa ini juga saya berkenalan dengan Raden
Mas Minke. Berkenalan dengan Harry Potter. Saya curi-curi membaca cerita
perjalanan hidup Raden Mas Minke di pelajaran PKN ketika kelas dua SMP. Haha,
saya duduk di bangku paling belakang, membaca sambil mendengarkan lagu Simple
Plan – Perfect. Baru beberapa tahun kemudian saya menyadari bahwa Mingke tidak
grew up according to his parent’s plan. Bhahaha. Betapa semesta in sync sedari
dulu. Jauh sebelum saya menyadari kekuatan magis yang berkelindan di
antaranya.
Saya jatuh cinta berulang kali. Saya membaca, kemudian
jatuh cinta. Untuk meredakan sakitnya, saya menulis. Saya kembali ingat bahwa
saya jatuh cinta sesering itu karena pertanyaan singkat tadi. Betapa manusia
pelupa. Karena manusia pelupa maka kalimat pertama yang diturunkan oleh Dia
Yang Maha Pengasih adalah: “Bacalah. Dengan nama Tuhanmu yang menciptakan”. Karena manusia pelupa—dan racun paling bahaya adalah lupa—maka
Dia menyebar banyak pesan agar kita kembali ingat. Jadi saya mencoba untuk
menelusuri ketidaksadaran kolektif yang berkaitan erat dengan pesan-pesanNya yang tersebar dalam buku-buku.
Saya suka membaca, karena itu mengantarkan saya pada
menulis. Seperti yang saya bilang sebelumnya, saya menulis untuk meredakan rasa sakit akibat jatuh cinta. Jadi bagi saya, menulis adalah sebuah sarana. Anggap saja saya menulis sebuah peta agar saya
tidak tersesat. Agar saya ingat, apa yang sama mau dan kemana arah yang saya tuju. Agar saya tidak kehilangan diri saya sendiri selama perjalanan.
Jadi, sekian renungan satu sks saya mengenai kenapa saya
suka membaca. Mungkin ada
beberapa hal yang terlupakan. Tapi kan manusia memang pelupa. Jadi ya…. sudahlah. Sekian dan
terimakasih.
See you soon.
Isti Bani, Kacang Kedelai.