Wednesday 29 January 2014

Sex Sux - I Got Bones (in The Kitchen)

Bandung, 12 November 2013
Gedung FIP UPI. 3.18
07:34 WIB. 27°C. Cerah Berawan
Warna kerudung: Hitam

Halo, Random Citizen.Apakabar? :)

      Saya menulis ini selama kelas PSP (Penyusunan Skala Psikologi). Alih-alih menyimak ceramah Bapak dosen mengenai skala likert, saya malah memutuskan untuk berselingkuh.Tepatnya, Berselingkuh dengan rusuh dan temali yang mengikat kepala saya sejak dini hari pukul 01.07 WIIB. Rusuh di kepala saya adalah buah dari pesan instan via messenger kekinian yang dikirim oleh Ichan. Karena pesan instan itu, mulailah terjadi… kerusuhan., kerusuhan akibat saya memikirkan sex. Saya jadi gelisah, mendadak merasa gelisah.
     Pertama, iznkan saya untuk bertanya kepada kamu, random citizen: Apa yang pertama kali terlintas di kepala kamu ketika mendengar kata ‘sex’? Apakah yang terlintas adalah kata sifat? Kata benda? Atau kata kerja?
       Mungkin—maafkan dan kembali izinkan saya untuk mengambil asumsi secara serampangan—presentase terbesar yang terlintas pertama kali di kepala kamu saat mendengar kata sex adalah sebuah kata kerja, sebentuk aktivitas, bukan sekadar organ tubuh manusia. Bukan sekadar perkara genital, apalagi sekadar perkara selangkangan.Namun,  sesuatu yang lebih dari itu, Yin dan Yang, Anima dan Animus.
    Baiklah, karena itu saya akan mengajak kamu, random citizen, untuk bertamasya ke sebuah segitiga ternama, Segitiga Hierarki Kebutuhan Maslow. Ada lima tahap hierarki dalam segitiga Maslow yang kemudian direvisi—kalau tidak salah pada tahun 1970—menjadi delapan tahap hierarki. Tapi, kita akan tamasya ke segitiga yang klasik. Hierarki dari lima tahapan tersebut adalah sebagai berikut: fisiologis, safety, belongingness, self esteem dan aktualisasi diri. Ah saya benci hierarki. Namun menurut saya, perkara seks ini—aktivitas seksual—memenuhi semua tahap dari 5 hierarki kebutuhan Maslow.
      Pertama. Sangat nyata: sex, aktivitas seksual adalah hasrat manusia yang paling mendasar. Hasrat hewani. Sebuah bentuk pertahanan diri: berkembang biak. Mempertahankan rasnya, ras humani agar tetap ada di muka bumi.
      Kemudian yang kedua, safety alias keamanan.Saya percaya jika orang berani melepas semua keresahan mereka dan dengan rela hati telanjang, membuka semua topeng yang menutupi diri lalu bersama-sama melebur, berfusi dengan tubuh lain, individu lain, keresahan lain, dan ketakutan lain,akanmelahirkan rasa aman yang luar biasa.
         Ketakutan yang baru disadari manusia pasca Hawa atau Eve tergoda untuk mencicipi buah terlarang, buah Khuldi, buah pengetahuan.Karena buah ini, manusia jadi menyadari kalau mereka telanjang.Matanya terbuka pada keresahan, ketakutan, kekurangan dan kelebihan mereka. Walhasil, manusia menutupi diri. Ah Eve. Hawa.
        Yang ketiga: belongingness. Perasaan—atau ilusi?—menyalurkan dan disalurkan afeksi. Belongingness itu ketika kamu merasa berani untuk meruntuhkan semua pertahanan karena merasa memiliki seseorang, ketika kamu merasa memiliki dan pada akhirnya merasa cukup lalu rela menjadikan dan dijadikan selimut kulit oleh individu lain di bawah terang bulan. Belongingness juga mencakupkeberanianmu berbagi keresahan itu dan berfusi, merasakan peleburan tanpa khawatir kehilangan diri selama prosesnya. Belongingness pun berarti ketika kamu merasa berada di tempat yang seharusnya.Dan, pada akhirnya,  kamu merasa kamu utuh.Kamu kosong, namun utuh.
      Kemudian, hadir lagi fakta bahwa perasaan melebur itu bukan hanya menghilangkan keresahan kamu-- meskipun mungkin sifatnya hanya sementara--, tapi juga melahirkan perasaan lain: rasa puas. Excitement.Excite merangkum bagaimana kamu merasa memuaskan dan dipuaskan.Pada akhirnya perasaan itu meningkatkan self esteematau harga dirimu.
       Yang terakhir, dalam kondisi sekosong apapun, kamu merasa utuh, cukup, lagi penuh. Rasa Penuh ini yang mendorongmu merasa berhasil mengaktualisasikan diri dan menjadi manusia sepenuhnya.
        Aktivitas seksual berhasil memenuhi lima tahap hierarki kebutuhan klasik yang dibuat oleh Maslow. Namun ternyata riuh dan resah yang ada di kepala saya tidak selesai di sini. Saya terusik dengan kata yang saya tulis sendiri di kebutuhan ke empat,self esteem. Harga Diri. Ah betapa manusia bisa kerap resah.
      Walhasil, dini hari pukul 01.28 WIB, saya mengirim pesan singkat dengan isi serupa pad dua orang berbeda. Yang pertama, sahabat perempuan saya dengan inisial P dan yang kedua, seorang senior laki-laki dengan inisial M. Saya mengirimi mereka pesan singkat dengan tujuan mulia: meredakan keresahan dan distorsi yang ada di kepala saya sendiri. Bhuahahaha.
Begini cuplikannya:
X: Gak ngerti. Kalau Perempuan boleh, bisa, dan sah-sah aja dijadiin objek seksual tanpa ditanya dulu persetujuannya, apa laki-laki juga mau, boleh, bisa, dan sah-sah aja dijadiin objek seksual? (Kalau dijadiin kesepakatan kolektif memang mau jadi objek?) 
P: Untuk budaya tertentu sih bisa aja. Cuma ngga banyak diekspos aja. Soalnya stereotip sosial cowo itu jadi subjek, bukan objek.Ya nyambung ke peran gender.Kesannya cowo lemah dan ga punya kuasa kalau dijadiin objek seksual.Padahal banyak, apalagi cowo yang lebih muda dari cewenya (Setau aku). Korban pelecehan seksual cowo sama cewe jarang diangkat paling cowo sama cowo.
(di sini, saya sempat merasa enggan membahas gender karena akan erat kaitannya dengan nilai agama dan budaya hingga bahasannya akan berubah menjadi… krik krik krik)
X: Ah… Penis sombong yah. 
P: Iya, karena banyak orang-orang jenius cowo sih. Feminis kaya mati. Jaga pride sih cowo yang dijadiin objek seksual kebanyakan pada diem karena mungkin menganggap itu paksaan yang penuh kenikmatan. Ah penis susah bohong sih. Terlalu reaktif.
(Apa? Feminis kayak mati? Kepala saya menolak argumen ini. Kemudian pada akhirnya mulai mengetik balasan pesan singkat itu….)
X: ITU! Penis susah bohong. Horny aja pengumuman :)))))))))))))). Banyak perempuan pinter kok dari dulu. Mungkin sekarang feminis dipandang jelek karena dianggap menuntut perempuan > laki-laki, bukannya perempuan = laki-laki. Tapi kalaupun iya, sebagian ingin >, bukankah itu hanya manifestasi atau reaksi dari rasa frustasi setelah entah dari zaman kapan perempuan selalu dijadiin objek, alat, media, bukannya dijadiin pendamping atau rekan yang setara. 
P: Si penis wawar bari balaga = mentang-mentang punya sejuta sperma, jadi riya.
(Haha… saya senyum sendiri mengakhiri percakapan dan beralih pada senior saya. M. Begini percakapannya…)
X: Gak ngerti. Kalau Perempuan boleh, bisa, dan sah-sah aja dijadiin objek seksual tanpa ditanya dulu persetujuannya, apa laki-laki juga mau, boleh, bisa, dan sah-sah aja dijadiin objek sekusal? (Kalau dijadiin kesepakatan kolektif memang mau jadi objek?) 
M: Hm… Ngga tau.Mungkin bisa.
(Krik.Krik.Krik.)
Dini hari pasca menerima pesan singkat balasan dari M—yang begitu nyata singkatnya—,saya tertidur atau tepatnya memutuskan untuk tidur.Saya meninggalkan sahabat saya yang kemungkinan terus memikirkan betapa si penis jaga pride lalu a, b, c, d dan e.
           Pagi hari, ketika saya bersiap-siap untuk pergi ke kampus, menghadiri kelas PSP—yang kemudian saya isi dengan perselingkuhan :|—saya berpikir “wajar saja jika senior saya, M, tidak berkomentar banyak mengenai laki-laki sebagai objek seksual karena M adalah laki-laki”. Jadi, premis yang terlintas di kepala saya adalah: “Oh M, yang notabene pria, posibilitas memandang penis sebagai objek seks kecil. Mana mau atau mana bisa dia berfantasi soal……..”. Begitulah, premis pertama saya berhenti di sana. Kemudian saya malah memikirkan sebuah fakta umum yang akan disepakati masyarakat Bandung: lampu merah Pasteur lamanya minta ampun :|
          Lantas ketika saya berjalan kaki meniti tangga menuju ruang kelas ini, FIP 3.18, tiba-tiba hadir premis lain di kepala saya. Premis yang kedua mengenai balasan pesan singkat M yang betulan singkat: “Tapi bukankah fakta bahwa M yang mengaku ‘ga tau, mungkin bisa’ mengenai perkara laki-laki sebagai objek seks ini agak rancu? Maksud saya… bukankah seharusnya pernyataan paling reliable mengenai laki-laki—atau spesifiknya: penis—sebagai objek seks datangnya dari laki-laki? Kan secara statistik, laki-laki lebih sering bermain dengan penis(nya)? Menjadikannya sebagai objek untuk memperoleh kepuasan. Iya kan? Iya nggak? Secara statistik loh….”
        Kemudian premis kedua saya berhenti lagi-lagi begitu saja. Sahabat saya, P, terlambat masuk kelas. Dipilihnya tempat duduk di sebelah saya dan kami melanjutkan diskusi dini hari hingga sampai ke konklusi: sudut pandang kami relatif sama.
Saya seorang perempuan. P juga seorang perempuan.Apa yang saya cari? Apa yang saya inginkan?
             Saya ingin kesetaraan, dimana kedua belah pihak tidak menggunakan kekuatan baik fisik maupun psikis untuk mendominasi, dimana kedua belah pihak memiliki porsi, tanggung jawab, dan hak yang seimbang.Kesetaraan dimana kedua belah pihak sepakat untuk saling menghormati, saling memanusiakan, memanusiakan manusia. Karena manusia itu pelupa, maka mari saling mengingatkan.


“Tidak tahukah kamu, bahwa racun paling berbahaya itu adalah lupa?”




p.s: ini versi x setelah disunting oleh kangmas manan, dia yang ada di belakang primitifzine. :D
p.ss: versi asli sempat mejeng di paperzine #12: Seksualitas dan Kita.
p.sss: diunggah dengan lagu latar: noah and the whale - two atoms in a molecule.

No comments:

Post a Comment