Hari ini langit mendung, tapi
nampaknya tidak akan turun hujan. Hm. Tipe cuaca romantis. Akan sangat
menyenangkan jika bisa dihabiskan duduk di bangku taman dengan manusia yang
hampir selalu bisa membuatmu tertawa. Tertawa karena hal sederhana, bahkan semi
bodoh. Tapi di sini lah aku. Duduk di kamarku, sambil meniup satu sendok penuh
nasi dan sayur kacang merah yang di masak ibuku agar cepat masuk kategori layak
kunyah, supaya bisa meredakan konser keroncong di perutku.
Di sebelahku, duduk perempuan
itu. Rambutnya ikal dibiarkan tergerai. Berantakan. Di telinganya, dia
menyematkan setangkai bunga kamboja. Kenapa kamboja? Jangan tanya padaku. Aku juga
tidak tahu pasti alasannya. Dan sejauh ini, aku tidak ada keinginan untuk
bertanya padanya. Dia duduk sambil bersenandung lagu radiohead, 2 + 2 = 5.
“January has april showers, and two and two always makes a five. It’s the devil way now. There is no way out... You can scream and you can shout. It is too late now...”
Mendengarnya bernyanyi dengan
suaranya yang aneh, aku berusaha untuk menahan tawaku. Mengapa? Karena aku
sedang mengunyah makananku. Agak bahaya kalau aku harus menertawakan ke…. Keanehan
perempuan itu. Jadi aku berusaha untuk tetap tenang. Berkonsentrasi pada
makananku. Seolah bisa membaca pikiranku, perempuan itu berhenti bersenandung
dan menatapku tajam. Aku menelan makanan yang ada di mulutku, kemudian membalas
tatapannya.
Hening. Dia tak mengatakan
apapun. Hanya menatapku. Akhirnya aku kembali menyendok nasi dan sayur kacang
merahku. Namun kemudian dia memanggil namaku. Di suaranya, ada sebuah urgensi
nyata. Aku kembali menatapnya.
“Dua tambah dua berapa?”, ujarnya
serius.
Aku menghela nafas. “Empat.” Jawabku
singkat.
“Kenapa kata radiohead lima?” dia
kembali bertanya. Serius. Sangat.
“Hm.. mungkin Thom Yorke salah
hitung.”, ujarku sekenanya.
“AH MASA. Dia joget kayak cacing kepanasan
di…. Sesuatu yang judulnya flower. Masa nggak bisa hitung yang sesederhana 2
tambah 2?”
“Hm..”
Melihatku tak banyak memberi
perhatian, dia nampak kesal kemudian menggeser pantatnya, duduk tepat di
sebelahku.
“Oke. Ini serius. Satu tambah
satu berapa?” dia menatapku. Matanya bulat.
Aku, tidak menjawab sampai nasi dan
sayur di mangkukku habis. Minum segelas air putih, lalu menatapnya, “Dua.”
“Kenapa dua?”
“Dari SD, kata guru matematika 1
tambah 1 ya 2.”
“Pernah tanya kenapa jawabannya
dua?”
“Nggak.”
“Kenapa nggak pernah tanya kenapa
satu tambah satu sama dengan dua?”
“Karena memang dua.”
“Terus kamu setuju begitu saja,
kalau satu tambah satu itu dua? Tanpa bertanya sebelumnya? Itu dogma namanya!”
Hah? Dogma? Ya ampun. Dia
memicingkan matanya kemudian menatapku curiga. Mungkin di kepalanya terlintas
teori konspirasi sesuatu, yang kalau menurut pendapatku, akan terlalu absurd
untuk menjadi nyata. Setelah puas menatapku dengan tatapan curiga, dia membuka
laptopku dan mengetik sesuatu. Ketika dia sibuk melakukan itu, aku pergi ke
dapur dan menyeduh cangkir kopi keduaku untuk hari ini.
“Katanya, kenapa satu tambah satu
sama dengan dua karena kita pake sistem bilangan desimal.” Aku mendengar dia
berteriak dari kamarku. Suaranya bersahutan dengan denting sendok dan cangkir
kopiku.
Aku masuk kembali ke kamarku,
mendapati matanya berbinar. Kemudian dia berseru, “Karena apa, sekarang aku tahu!”
“Hah? Apa?”
“Kenapa dua. Karena kita
menggunakan sistem bilangan desimal. Di mana di sistem itu, ada sepuluh angka
yang diakui. Dari angka 0 sampai 9. Jadi 1 tambah 1 sama dengan 2 karena 2
nyata. Coba kalau kita menggunakan sistem bilangan biner di mana angka yang
diakui nyata hanya 1 dan 0. Kalau menggunakan sistem biner, maka 1 tambah 1
sama dengan 10. Kenapa? Karena hanya dua angka itu yang nyata.”, dia
menjelaskan panjang lebar. Berapi-api.
“Hah?” aku menatapnya tak
percaya. Dia mencari tahu hal itu, lewat internet, selama aku menyeduh kopi? Dia
ini kadang, kurang jelas ya.
“iiiiiiiiiiiiih dodol. Ini penting, kenapa jawabannya dua, karena dua tercatat di sistem, dan diakui. kalau dua nggak ada di sistem, nggak akan dua jawabannya. Paham nggak? Ngomong-ngomong, kenapa kita selalu diikat sistem sih?” Ujarnya kesal.
“Hm.. kopi ga?” aku menghiraukan
hitungan, sistem dan bilangan yang secara tiba-tiba dia angkat menjadi topik
percakapan sore yang seharusnya romantis ini.
“Nggak ah. Eh, kan berarti Thom
Yorke, sistem bilangannya desimal juga, kan? Terus kenapa nggak 4?”
“Mungkin, manipulasi data?”, aku dengan sembarangan melempar asumsi.
Dia mengangguk-ngangguk. Mempertimbangkan asumsiku dengan serius. “Hm.. bisa jadi. Manipulasi. Penggembelembungan suara?”
“Penggelembungan suara apa?”
“Itu, suara pemilu.”
“Kenapa jadi pemilu?”
“Lagi ngetren.”
HM. Ngelantur. Dari topik A ke
topik B. Loncat ke D. Kemudian roll depan ke topik M. Aku menyeruput kopiku, kasihan dia, terlalu lama
aku acuhkan.
“Eh, katanya calon presiden X,
anunya anu?” ujarnya bertanya lagi padaku. Dia tak kehilangan keseriusannya sejak tadi.
Aku tersedak kopiku. “Hah? Apanya?”
“Itu.”, ujarnya singkat, kemudian
tertawa.
Sialan. Aku ikutan tertawa,
menjitak kepalanya, kemudian berkata: “Di hidung kamu ada cat air tuh.”
p.s: dibuat dengan lagu latar kaki king - ..... until we felt red (album)
p.ss: maaf, aneh.
p.sss: ah, tolongin. nggak ingin diseret ketemu manusia dengan jas putih.
No comments:
Post a Comment