Masa depan. Masa di mana segala sesuatunya ada di ranah
ketidakpastian. Hanya Dia yang Maha Menggenggam Semesta yang tahu apa yang akan
terjadi dan bagaimana hal itu bisa terjadi. Menghadapi masa depan bagi saya
adalah sebuah petualangan yang…. Menegangkan. I’m afraid of course. Tapi kalau
kata Rachel di serial FRIENDS ketika dia akan pergi ke Paris untuk pekerjaan di
bidang fashion yang merupakan passionnya, takutnya itu takut yang menyenangkan. Seperti
perasaan takut ketika pertama kali menginjakan kaki ke sekolah. Takut ketika
pertama kali harus membacakan puisi di depan kelas. Takut ketika pertama kali
menyadari bahwa kamu jatuh cinta.
Masa depan bagi saya seperti permainan puzzle. Di mana kita
meraba satu kepingan, mengenali sudut dan pola bentuknya. Setelah itu mencari
kepingan yang cocok untuk kemudian direkatkan sehingga kita bisa melihat sebuah
kepingan gambar. Lalu kembali mempelajari pola dan mencari kepingan lainnya. Menyusun puzzle seperti itu dibutuhkan proses belajar. Menyadari
dan memaknai setiap sudut dan pola dari kepingan yang kita temukan. Bagi saya,
kurang lebih… seperti itu.
Sekarang saya sedang menyusun puzzle untuk bisa melihat…
atau merancang… masa depan saya. 5 tahun ke depan misalnya. Begitu banyak
pertanyaan seperti itu. Bagaimana kamu melihat dirimu sendiri 5 tahun yang akan
datang? Pertanyaan itu selalu membawa kecemasan pada saya. 5 tahun
lagi saya sudah bisa mencapai apa? Sudah melakukan apa untuk orang-orang
terkasih? Sudah berfungsi dan berkontribusi apa untuk komunitas yang lebih
besar?
Saya kerap cemas… kalau saya akan gagal… banyak menghadapi
kegagalan ketika saya mempelajari pola puzzle dan menyusunnya. Saya cemas saya
akan lengah. Lengah terhadap pola puzzle yang ditawarkan semesta. Lengah melihat
pola dan gejala, kemudian menganggapnya sebagai sebuah kebetulan. Padahal,
menurut Mycroft Holmes: “the universe is rarely so lazy….” dan kita kerap diingatkan bahwa there's is no such thing as coincidence. Jadi, ya… saya cemas saya lengah melihat pola dan menghitung
posibilitas, kemudian membiarkan sebuah
kesempatan tergelincir dari tangan saya. Namun kemudian, saya mengingat sebuah kalimat… bahwa
mencemaskan masa depan terlalu banyak… menurut Sujiwo Tejo.. itu sama saja
dengan menghina Dia yang Maha, yang menggenggam Semesta di antara jemariNya. Saya mencemaskan masa depan terlalu banyak, berarti saya meragukanNya. Dia yang
Maha Pengasih… yang memberi tanpa pandang kasta.
Ah. Ibunda. Anakmu ini kerap cemas sampai lupa mengucap
syukur untuk berkah, karunia dan kasih sayang yang berlimpah yang dia rasakan dan dapatkan hari ini.
Manusia.
“Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?”
No comments:
Post a Comment