Wednesday, 23 April 2014

Day 8. The Blank Page

Masa depan. Masa di mana segala sesuatunya ada di ranah ketidakpastian. Hanya Dia yang Maha Menggenggam Semesta yang tahu apa yang akan terjadi dan bagaimana hal itu bisa terjadi. Menghadapi masa depan bagi saya adalah sebuah petualangan yang…. Menegangkan. I’m afraid of course. Tapi kalau kata Rachel di serial FRIENDS ketika dia akan pergi ke Paris untuk pekerjaan di bidang fashion yang merupakan passionnya, takutnya itu takut yang menyenangkan. Seperti perasaan takut ketika pertama kali menginjakan kaki ke sekolah. Takut ketika pertama kali harus membacakan puisi di depan kelas. Takut ketika pertama kali menyadari bahwa kamu jatuh cinta.

Masa depan bagi saya seperti permainan puzzle. Di mana kita meraba satu kepingan, mengenali sudut dan pola bentuknya. Setelah itu mencari kepingan yang cocok untuk kemudian direkatkan sehingga kita bisa melihat sebuah kepingan gambar. Lalu kembali mempelajari pola dan mencari kepingan lainnya. Menyusun puzzle seperti itu dibutuhkan proses belajar. Menyadari dan memaknai setiap sudut dan pola dari kepingan yang kita temukan. Bagi saya, kurang lebih… seperti itu.

Sekarang saya sedang menyusun puzzle untuk bisa melihat… atau merancang… masa depan saya. 5 tahun ke depan misalnya. Begitu banyak pertanyaan seperti itu. Bagaimana kamu melihat dirimu sendiri 5 tahun yang akan datang? Pertanyaan itu selalu membawa kecemasan pada saya. 5 tahun lagi saya sudah bisa mencapai apa? Sudah melakukan apa untuk orang-orang terkasih? Sudah berfungsi dan berkontribusi apa untuk komunitas yang lebih besar?

Saya kerap cemas… kalau saya akan gagal… banyak menghadapi kegagalan ketika saya mempelajari pola puzzle dan menyusunnya. Saya cemas saya akan lengah. Lengah terhadap pola puzzle yang ditawarkan semesta. Lengah melihat pola dan gejala, kemudian menganggapnya sebagai sebuah kebetulan. Padahal, menurut Mycroft Holmes: “the universe is rarely so lazy….” dan kita kerap diingatkan bahwa there's is no such thing as coincidence. Jadi, ya… saya cemas saya lengah melihat pola dan menghitung posibilitas, kemudian membiarkan sebuah kesempatan tergelincir dari tangan saya. Namun kemudian, saya mengingat sebuah kalimat… bahwa mencemaskan masa depan terlalu banyak… menurut Sujiwo Tejo.. itu sama saja dengan menghina Dia yang Maha, yang menggenggam Semesta di antara jemariNya. Saya mencemaskan masa depan terlalu banyak, berarti saya meragukanNya. Dia yang Maha Pengasih… yang memberi tanpa pandang kasta.

Ah. Ibunda. Anakmu ini kerap cemas sampai lupa mengucap syukur untuk berkah, karunia dan kasih sayang yang berlimpah yang dia rasakan dan dapatkan hari ini.
Manusia.
“Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?”

No comments:

Post a Comment