Setelah dua
minggu menanti, akhirnya pada hari Minggu kedua bulan ketiga pada saat bulan
purnama, “Ibuku” melahirkanku ke bumi. Sebelumnya dia telah lebih dulu
melahirkan dua kakak perempuanku yang kembar. Ibuku melahirkanku di atas sebuah
kain dengan ukuran 50cm x 120cm. Saat pertama kali aku membuka mataku, aku
melihat dua pasang mata yang menatapku penasaran. Sepasang mata pertama tentu
saja mata Ibuku. Nah yang kedua, entah mata siapa. Yang kutahu, mata itu hitam,
bulat dan berbulu mata lebat.
Pada awalnya
saat dilahirkan, rambutku ikal tebal berwarna biru pekat, bibirku pun sudah merah
dan penuh dengan gairah. Lalu kudengar perempuan bermata bulat itu berbisik
pada ibuku, “Mari kita tambahkan debu bintang kejora di rambutnya, agar dia
semakin jelita”. Mendengarnya bicara begitu, sungguh aku ingin tersipu. Namun
ibuku terlanjur melahirkanku seperti perempuan dingin tanpa ekspresi. Jadi aku
hanya menatapnya. Berharap dia bisa merasakan bahwa aku berterima kasih atas
usulannya. Selama proses aku dilahirkan, perempuan bermata bulat itu terus
menatapku sambil tersenyum kecil. Dia berkata pelan, “kita berjodoh.”, karena
aku tak tahu artinya, maka aku tak menanggapi apapun. Aku hanya balik
menatapnya sambil membenarkan letak bunga kamboja putih yang ibu sematkan di
kedua daun telingaku.
Di samping
ruangan, aku melihat kedua kakak kembarku menatapku cemburu, dan menatap
perempuan bulat itu dengan sedikit dengki. Sepertinya mereka kecewa karena ibu
tidak menabur debu bintang kejora juga di rambut mereka. Sebagai mana semua ibu
di muka bumi, Ibuku pun enggan dinilai pilih kasih. Maka dia pun menaburkan
sisa debu bintang kejora ke rambut kedua kakakku. Rambut mereka pun kini
terlihat secantik milikku. Namun tetap saja, amarah di mata keduanya tak juga
hilang. Mereka malah makin cemburu padaku.
…
Pada suatu
hari ketika cahaya matahari menutupi bulan dengan sempurna, Ibuku berbisik pada
kedua kakak kembarku, “Kalian harus pergi ke suatu tempat di mana gumpalan es
seputih salju turun dari langit. Tinggalah di sana dan belajarlah arti
berbagi.” Setelah itu kedua kakak kembarku yang selalu berdempetan pergi
mengikuti titah Ibu. Tak lama Ibu menatapku, lalu berbisik pelan, “Ibu pun
harus segera melepasmu. Akan ada seorang anak perempuan yang biasa menenun
mimpi di bulan yang akan menjemputmu. Ingat, indahnya debu bintang kejora yang
terlukis di rambutmu adalah hadiah dari perempuan ini. Dia mengumpulkannya di
sela-sela kesibukannya menenun mimpi. Jadi kamu harus selalu ada di sampingnya,
terutama ketika dia hendak tidur. Namun jika kau lihat dia jatuh cinta, berikanlah
hatimu padanya. Lalu kembalilah ke wujudmu yang semula saat pertama kali kau
kulahirkan. Jika dia patah hati karena cintanya, maka jantungmu akan membuatnya
terus hidup. Jika dia bahagia dalam hidupnya, maka kau akan dipertemukan lagi
dengannya dalam bentuk lain.”
Mendengarnya,
aku menatap Ibu penuh tanda tanya. Mengapa aku harus menjaganya ketika dia
hendak pergi tidur? Kuyakin Ibu tahu pertanyaanku, namun ibu memilih untuk
tidak menjawab dan mengunci pintu kamarku.
…
Setelah
menanti selama 40 hari di ruangan kamarku yang dikunci Ibu, akhirnya perempuan
yang Ibu janjikan datang menjemputku. Saat kulihat matanya, aku langsung
mengenalinya. Dia perempuan yang sama dengan perempuan yang ada di saat aku
dilahirkan. Matanya masih sama, hitam segelap malam. Namun sekarang ada kerlip
sendu di sana. Dia menatapku, menggendongku dan membawaku pergi dari kamarku
yang gelap. Dalam dekapannya saat menggendongku, aku bisa mendengar degup
jantungnya yang lemah. Diam-diam aku khawatir padanya. Diam-diam aku merasa
kasihan padanya. Diam-diam aku merasa dia begitu tak asing bagiku, terlepas dia
memang ada di saat aku dilahirkan.
Dalam
dekapannya saat membawaku pergi, aku berusaha untuk tidak bergerak sama sekali,
berusaha untuk tidak mengusiknya sama sekali. Lalu tiba-tiba dia melepaskanku
dan membantuku untuk merasa nyaman tinggal di ruang pribadinya. Di miniatur
tempat dia menenun mimpi.
…
Sejak itu
aku selalu mengiringi kegiatannya di semestanya. Dia kerap bercerita padaku. Atau
berbicara sendiri. Aku di sana, selalu di sana. Mendengarkannya dan
memperhatikannya. Menyaksikannya menenun mimpi, menyaksikannya menabur harap,
menyaksikannya menuai asa, dan menyaksikannya membakar duka. Ah, aku juga kerap
menyaksikannya menulis surat panjang tentang bagaimana dia berharap segera
ditemukan, namun dia pun ketakutan untuk menemukan dirinya sendiri. Karena itu,
dia kerap menanam pohon di hutan tadah rindu yang pucuk daun paling mudanya
akan membisikkan lagu cinta paling romantis yang akan menuntunmu menemuinya.
![]() |
miniatur semesta di mana dia biasa merajut mimpi |
Namun ada
hal yang ganjil pada dirinya. Dia memiliki rutinitas untuk kembali terlelap
sebelum tengah malam. Benar kata ibuku, aku harus terus menjaganya. Terutama
ketika dia akan terlelap. Karena baginya, pergi untuk tidur selayaknya pergi
berperang. Entah dengan siapa. Entah dengan apa. Namun yang kutahu pasti, jika
dia pergi tidur setelah tengah malam, selalu ada luka goresan di kulit
lengannya. Karena itu, sebisa mungkin aku mengikuti titah ibuku untuk
menjaganya. Aku akan setiap mengusap kepalanya jika ia terisak di antara
tidurnya. Selalu sedia bersenandung kecil di antara igauannya tentang ombak
pasang laut yang menelannya bulat-bulat dan tak akan membiarkannya pulang.
…
Lalu di
tahun ke lima sejak aku mengenalnya, akhirnya aku melihatnya kasmaran. Dia
jatuh cinta pada seorang laki-laki yang berasal dan tumbuh besar di laut
selatan. Kudengar percakapan mereka ketika saling menggambarkan rencana tentang
rumah masa depan yang akan mereka tempati bersama. Tentang sebuah ruangan 3 x 4
tempat mereka akan bercinta di antara halaman buku dongeng yang dia baca. Dia
memerah setiap kali bercakap-cakap dengan laki-laki laut ini. Dia bahkan
terlelap dengan lebih damai, dengan lebih sedikit luka yang menggoresnya.
Suatu hari,
aku melihatnya menulis sebuah surat untuk kekasihnya. Setelah kuintip, ternyata
isinya seperti ini:
“Terimakasih untuk doa dan harapan yang
kamu lantunkan di setiap malam ketika saya sudah terlelap. Karena mereka---doa
dan harapan yang kamu lantunkan---adalah satu dari sekian hal yang menjaga
saya. Karena merekalah saya menjadi yakin kalau kita telah sepakat. Karena itu
saya percaya, bahwa apa yang kita tuju sudah berfusi menjadi satu. Karena
seperti apa yang kamu katakan sebelumnya, bahwa kita berasal dari Satu yang
berevolusi menjadi sepasang. Dua terbilang. Kita adalah sepasang. Sebuah
perjalanan dan jalan pulang. Oleh karena itu, izinkan saya untuk ikut
melantukan harapan, agar kita, saya, kamu, selalu dalam lindungan dari yang
Maha Pengasih. Semoga apa yang kita bagi bersama merupakan benar adanya adalah
hadiah dan berkah yang paling indah dariNya.”
Membaca isi
surat itu, aku rasa degup jantungku berhenti. Aku ingat pesan ibuku. Jika
kulihat perempuan ini jatuh cinta, maka aku harus kembali ke wujud pertamaku
saat dilahirkan. Aku harus memberikan jantungku padanya, agar dia bertahan jika
harus patah hati karena cintanya.
Dengan
perasaan penuh pada jantungku, aku meraih sehelai rambutku yang berkilau karena
debu bintang kejora. Lalu kupintal menjadi sebuah jarum. Dengan jarum itu, aku
membelah jantungku dan menanamnya di dalam dirinya ketika terlelap. Setelah
itu, aku kembali ke wujudku semula. Kembali pulang ke kain di mana aku
dilahirkan dan dilukiskan. Tak berharap untuk kembali dipertemukan dengannya.
p.s: ditulis Mei 2015.
p.s.s: belum mampu menulis. ada jeda kosong di antara pola yang biasa dirajut.
p.s.s.s: diunggah dengan lagu latar luluc - tangled heart.