Sunday 28 June 2015

Kejora

Setelah dua minggu menanti, akhirnya pada hari Minggu kedua bulan ketiga pada saat bulan purnama, “Ibuku” melahirkanku ke bumi. Sebelumnya dia telah lebih dulu melahirkan dua kakak perempuanku yang kembar. Ibuku melahirkanku di atas sebuah kain dengan ukuran 50cm x 120cm. Saat pertama kali aku membuka mataku, aku melihat dua pasang mata yang menatapku penasaran. Sepasang mata pertama tentu saja mata Ibuku. Nah yang kedua, entah mata siapa. Yang kutahu, mata itu hitam, bulat dan berbulu mata lebat.
Pada awalnya saat dilahirkan, rambutku ikal tebal berwarna biru pekat, bibirku pun sudah merah dan penuh dengan gairah. Lalu kudengar perempuan bermata bulat itu berbisik pada ibuku, “Mari kita tambahkan debu bintang kejora di rambutnya, agar dia semakin jelita”. Mendengarnya bicara begitu, sungguh aku ingin tersipu. Namun ibuku terlanjur melahirkanku seperti perempuan dingin tanpa ekspresi. Jadi aku hanya menatapnya. Berharap dia bisa merasakan bahwa aku berterima kasih atas usulannya. Selama proses aku dilahirkan, perempuan bermata bulat itu terus menatapku sambil tersenyum kecil. Dia berkata pelan, “kita berjodoh.”, karena aku tak tahu artinya, maka aku tak menanggapi apapun. Aku hanya balik menatapnya sambil membenarkan letak bunga kamboja putih yang ibu sematkan di kedua daun telingaku.
Di samping ruangan, aku melihat kedua kakak kembarku menatapku cemburu, dan menatap perempuan bulat itu dengan sedikit dengki. Sepertinya mereka kecewa karena ibu tidak menabur debu bintang kejora juga di rambut mereka. Sebagai mana semua ibu di muka bumi, Ibuku pun enggan dinilai pilih kasih. Maka dia pun menaburkan sisa debu bintang kejora ke rambut kedua kakakku. Rambut mereka pun kini terlihat secantik milikku. Namun tetap saja, amarah di mata keduanya tak juga hilang. Mereka malah makin cemburu padaku.
Pada suatu hari ketika cahaya matahari menutupi bulan dengan sempurna, Ibuku berbisik pada kedua kakak kembarku, “Kalian harus pergi ke suatu tempat di mana gumpalan es seputih salju turun dari langit. Tinggalah di sana dan belajarlah arti berbagi.” Setelah itu kedua kakak kembarku yang selalu berdempetan pergi mengikuti titah Ibu. Tak lama Ibu menatapku, lalu berbisik pelan, “Ibu pun harus segera melepasmu. Akan ada seorang anak perempuan yang biasa menenun mimpi di bulan yang akan menjemputmu. Ingat, indahnya debu bintang kejora yang terlukis di rambutmu adalah hadiah dari perempuan ini. Dia mengumpulkannya di sela-sela kesibukannya menenun mimpi. Jadi kamu harus selalu ada di sampingnya, terutama ketika dia hendak tidur. Namun jika kau lihat dia jatuh cinta, berikanlah hatimu padanya. Lalu kembalilah ke wujudmu yang semula saat pertama kali kau kulahirkan. Jika dia patah hati karena cintanya, maka jantungmu akan membuatnya terus hidup. Jika dia bahagia dalam hidupnya, maka kau akan dipertemukan lagi dengannya dalam bentuk lain.”
Mendengarnya, aku menatap Ibu penuh tanda tanya. Mengapa aku harus menjaganya ketika dia hendak pergi tidur? Kuyakin Ibu tahu pertanyaanku, namun ibu memilih untuk tidak menjawab dan mengunci pintu kamarku.
Setelah menanti selama 40 hari di ruangan kamarku yang dikunci Ibu, akhirnya perempuan yang Ibu janjikan datang menjemputku. Saat kulihat matanya, aku langsung mengenalinya. Dia perempuan yang sama dengan perempuan yang ada di saat aku dilahirkan. Matanya masih sama, hitam segelap malam. Namun sekarang ada kerlip sendu di sana. Dia menatapku, menggendongku dan membawaku pergi dari kamarku yang gelap. Dalam dekapannya saat menggendongku, aku bisa mendengar degup jantungnya yang lemah. Diam-diam aku khawatir padanya. Diam-diam aku merasa kasihan padanya. Diam-diam aku merasa dia begitu tak asing bagiku, terlepas dia memang ada di saat aku dilahirkan.
Dalam dekapannya saat membawaku pergi, aku berusaha untuk tidak bergerak sama sekali, berusaha untuk tidak mengusiknya sama sekali. Lalu tiba-tiba dia melepaskanku dan membantuku untuk merasa nyaman tinggal di ruang pribadinya. Di miniatur tempat dia menenun mimpi.
Sejak itu aku selalu mengiringi kegiatannya di semestanya. Dia kerap bercerita padaku. Atau berbicara sendiri. Aku di sana, selalu di sana. Mendengarkannya dan memperhatikannya. Menyaksikannya menenun mimpi, menyaksikannya menabur harap, menyaksikannya menuai asa, dan menyaksikannya membakar duka. Ah, aku juga kerap menyaksikannya menulis surat panjang tentang bagaimana dia berharap segera ditemukan, namun dia pun ketakutan untuk menemukan dirinya sendiri. Karena itu, dia kerap menanam pohon di hutan tadah rindu yang pucuk daun paling mudanya akan membisikkan lagu cinta paling romantis yang akan menuntunmu menemuinya.
miniatur semesta di mana dia biasa merajut mimpi

Namun ada hal yang ganjil pada dirinya. Dia memiliki rutinitas untuk kembali terlelap sebelum tengah malam. Benar kata ibuku, aku harus terus menjaganya. Terutama ketika dia akan terlelap. Karena baginya, pergi untuk tidur selayaknya pergi berperang. Entah dengan siapa. Entah dengan apa. Namun yang kutahu pasti, jika dia pergi tidur setelah tengah malam, selalu ada luka goresan di kulit lengannya. Karena itu, sebisa mungkin aku mengikuti titah ibuku untuk menjaganya. Aku akan setiap mengusap kepalanya jika ia terisak di antara tidurnya. Selalu sedia bersenandung kecil di antara igauannya tentang ombak pasang laut yang menelannya bulat-bulat dan tak akan membiarkannya pulang.
Lalu di tahun ke lima sejak aku mengenalnya, akhirnya aku melihatnya kasmaran. Dia jatuh cinta pada seorang laki-laki yang berasal dan tumbuh besar di laut selatan. Kudengar percakapan mereka ketika saling menggambarkan rencana tentang rumah masa depan yang akan mereka tempati bersama. Tentang sebuah ruangan 3 x 4 tempat mereka akan bercinta di antara halaman buku dongeng yang dia baca. Dia memerah setiap kali bercakap-cakap dengan laki-laki laut ini. Dia bahkan terlelap dengan lebih damai, dengan lebih sedikit luka yang menggoresnya.
Suatu hari, aku melihatnya menulis sebuah surat untuk kekasihnya. Setelah kuintip, ternyata isinya seperti ini:
Terimakasih untuk doa dan harapan yang kamu lantunkan di setiap malam ketika saya sudah terlelap. Karena mereka---doa dan harapan yang kamu lantunkan---adalah satu dari sekian hal yang menjaga saya. Karena merekalah saya menjadi yakin kalau kita telah sepakat. Karena itu saya percaya, bahwa apa yang kita tuju sudah berfusi menjadi satu. Karena seperti apa yang kamu katakan sebelumnya, bahwa kita berasal dari Satu yang berevolusi menjadi sepasang. Dua terbilang. Kita adalah sepasang. Sebuah perjalanan dan jalan pulang. Oleh karena itu, izinkan saya untuk ikut melantukan harapan, agar kita, saya, kamu, selalu dalam lindungan dari yang Maha Pengasih. Semoga apa yang kita bagi bersama merupakan benar adanya adalah hadiah dan berkah yang paling indah dariNya.”
Membaca isi surat itu, aku rasa degup jantungku berhenti. Aku ingat pesan ibuku. Jika kulihat perempuan ini jatuh cinta, maka aku harus kembali ke wujud pertamaku saat dilahirkan. Aku harus memberikan jantungku padanya, agar dia bertahan jika harus patah hati karena cintanya.

Dengan perasaan penuh pada jantungku, aku meraih sehelai rambutku yang berkilau karena debu bintang kejora. Lalu kupintal menjadi sebuah jarum. Dengan jarum itu, aku membelah jantungku dan menanamnya di dalam dirinya ketika terlelap. Setelah itu, aku kembali ke wujudku semula. Kembali pulang ke kain di mana aku dilahirkan dan dilukiskan. Tak berharap untuk kembali dipertemukan dengannya.


p.s: ditulis Mei 2015.
p.s.s: belum mampu menulis. ada jeda kosong di antara pola yang biasa dirajut.
p.s.s.s: diunggah dengan lagu latar luluc - tangled heart.