Thursday 5 December 2013

beautiful tranquility

Akhir-akhir ini saya sering berpikir tentang masa depan. Mungkin tidak akan terlalu jauh. Lima tahun dari sekarang. Klise sekali ya. Saya membayangkan, apa yang sedang saya lakukan. Apa kesibukan saya. Apa yang menarik perhatian saya. Dengan siapa saya belajar?

Akhir-akhir ini juga saya semakin yakin, kalau saya enggan menyandang gelar psikolog di belakang nama saya. Saya lebih memilih untuk menjadi ilmuwan psikologi saja, mendalami psikologi terapan. Psikologi seni. Saya mungkin lebih memilih untuk bermain dengan konstruk kesadaran manusia melalui seni. Meraba dasar ketidaksadarannya melalui petikan gitar, intonasi dalam pementasan monolog, sapuan kuas dalam lukisan, pemilihan suasana latar dalam sebuah film. Saya semakin menyadari kalau saya enggan duduk di depan klien, direntangkan jarak meja dan kursi. Lebih baik saya berjalan, dan kembali belajar memahami diri sendiri dan individu terkasih di sekitar saya dengan cara berkaca di tempat-tempat yang disediakan semesta.



Lima tahun lagi… nampak waktu yang lama. Namun saya percaya, itu  tidak akan begitu terasa. Since time flies, right? Dan saya baru saja ingat, kalau lima tahun yang lalu, tahun 2009 saya mengalami kontemplasi yang serupa. Penggunaan kata kontemplasi mungkin sedikit berlebihan. Semenjak saya hanya membayangkan saya akan kuliah dimana, mendalami ilmu apa. Dan sekarang, di sinilah saya. Mendalami ilmu yang saya bayangkan akan saya tekuni. Di tempat yang tanpa sadar telah saya pilih, jauh sebelum saya merencanakan akan saya bawa kemana ilmu yang saya pelajari ini.

Lima tahun lalu, saya ketika SMA, dengan serampangan menulis Psikologi UPI di kertas tujuan saya menuntut ilmu. Tanpa tahu latar belakang dari psikologi UPI. Tanpa tahu sistem yang berkelindan di antaranya, tanpa tahu stereotip yang mengikatnya. Saya menulis psikologi UPI di antara  hukum UNPAD dan astronomi ITB. Saya yang mendaftar ujian masuk mandiri tanpa niat khusus, tanpa persiapan. Bahkan pensil pun saya pinjam dari orang yang duduk di sebelah saya. Saya bahkan lupa, orang yang berbaik hati meminjamkan pensil cadangannya pada saya itu laki-laki atau perempuan. Saya yang tidur setengah dari waktu yang disediakan untuk mengerjakan tes. Saya yang pongah dan naïve. Haha saya sepertinya harus banyak minta maaf  karena terlalu banyak menantang magis semesta.

Tapi Dia yang Maha Merentang Gejala ternyata memang perencana yang tidak ada duanya. disediakanNya saya sebuah jalur untuk mempelajari ilmu yang terbaik untuk saya menurutNya. Ternyata Dia telah melihat apa yang akan terjadi di konstelasi saya. Apa yang akan terjadi di tahun 2010, dan apa yang akan terjadi setelahnya. Oleh karena itu, Dia menyediakan saya satu bangku untuk mendalami ilmu psikologi. Sebuah fasilitas agar saya belajar untuk mencari dan menyeimbangkan banyak hal. Belajar membentuk dan dibentuk. Belajar dari b sampai z. Meski kerap kali usaha saya dalam menyeimbangkan dan membentuk hal-hal tersebut gagal. Banyak error yang terjadi karena saya ceroboh, impulsive.. Namun tetap saja, segala prosesnya dan perubahan makna yang terus terjadi di antara peristiwa ini itu kerap membuat saya senyum sendiri.

Haha. Saya sering kali geleng-geleng kepala, apa jadinya jika saya lulus masuk fakultas hukum? Akan sekeras apa kepala saya? Akan sekuat apa saya membangun dinding pertahanan untuk melindungi diri dari diri saya sendiri? Akan seenggan apa saya untuk mengakui ketakutan saya sendiri? Lagi-lagi, Dia memang Maha Humoris.

Kopi di gelas saya sudah dingin, dan khayalan saya tentang lima tahun ke depan makin menyenangkan. Mungkin, jika jalannya dimudahkan oleh Dia, lima tahun ke depan saya ada di jalan menuju level kesadaran yang lebih baik. sedang berusaha untuk terus ada dalam harmoni, dengan semua aspek. Dengan diri saya sendiri, dengannya, dengan semesta.

see you  soon.
isti bani, biji gandum.