Akhir-akhir ini saya sering berpikir tentang masa depan.
Mungkin tidak akan terlalu jauh. Lima tahun dari sekarang. Klise sekali ya.
Saya membayangkan, apa yang sedang saya lakukan. Apa kesibukan saya. Apa yang
menarik perhatian saya. Dengan siapa saya belajar?
Akhir-akhir ini juga saya semakin yakin, kalau saya enggan
menyandang gelar psikolog di belakang nama saya. Saya lebih memilih untuk
menjadi ilmuwan psikologi saja, mendalami psikologi terapan. Psikologi seni.
Saya mungkin lebih memilih untuk bermain dengan konstruk kesadaran manusia
melalui seni. Meraba dasar ketidaksadarannya melalui petikan gitar, intonasi
dalam pementasan monolog, sapuan kuas dalam lukisan, pemilihan suasana latar
dalam sebuah film. Saya semakin menyadari kalau saya enggan duduk di depan
klien, direntangkan jarak meja dan kursi. Lebih baik saya berjalan, dan kembali
belajar memahami diri sendiri dan individu terkasih di sekitar saya dengan cara
berkaca di tempat-tempat yang disediakan semesta.
Lima tahun lagi… nampak waktu yang lama. Namun saya percaya,
itu tidak akan begitu terasa. Since time
flies, right? Dan saya baru saja ingat, kalau lima tahun yang lalu, tahun 2009
saya mengalami kontemplasi yang serupa. Penggunaan kata kontemplasi mungkin
sedikit berlebihan. Semenjak saya hanya membayangkan saya akan kuliah dimana, mendalami
ilmu apa. Dan sekarang, di sinilah saya. Mendalami ilmu yang saya bayangkan
akan saya tekuni. Di tempat yang tanpa sadar telah saya pilih, jauh sebelum
saya merencanakan akan saya bawa kemana ilmu yang saya pelajari ini.
Lima tahun lalu, saya ketika SMA, dengan serampangan menulis
Psikologi UPI di kertas tujuan saya menuntut ilmu. Tanpa tahu latar belakang
dari psikologi UPI. Tanpa tahu sistem yang berkelindan di antaranya, tanpa tahu
stereotip yang mengikatnya. Saya menulis psikologi UPI di antara hukum UNPAD dan astronomi ITB. Saya yang
mendaftar ujian masuk mandiri tanpa niat khusus, tanpa persiapan. Bahkan pensil
pun saya pinjam dari orang yang duduk di sebelah saya. Saya bahkan lupa, orang
yang berbaik hati meminjamkan pensil cadangannya pada saya itu laki-laki atau
perempuan. Saya yang tidur setengah dari waktu yang disediakan untuk
mengerjakan tes. Saya yang pongah dan naïve. Haha saya sepertinya harus banyak
minta maaf karena terlalu banyak menantang
magis semesta.
Tapi Dia yang Maha Merentang Gejala ternyata memang
perencana yang tidak ada duanya. disediakanNya saya sebuah jalur untuk
mempelajari ilmu yang terbaik untuk saya menurutNya. Ternyata Dia telah melihat
apa yang akan terjadi di konstelasi saya. Apa yang akan terjadi di tahun 2010,
dan apa yang akan terjadi setelahnya. Oleh karena itu, Dia menyediakan saya
satu bangku untuk mendalami ilmu psikologi. Sebuah fasilitas agar saya belajar
untuk mencari dan menyeimbangkan banyak hal. Belajar membentuk dan dibentuk.
Belajar dari b sampai z. Meski kerap kali usaha saya dalam menyeimbangkan dan
membentuk hal-hal tersebut gagal. Banyak error yang terjadi karena saya
ceroboh, impulsive.. Namun tetap saja, segala prosesnya dan perubahan makna
yang terus terjadi di antara peristiwa ini itu kerap membuat saya senyum
sendiri.
Haha. Saya sering kali geleng-geleng kepala, apa jadinya
jika saya lulus masuk fakultas hukum? Akan sekeras apa kepala saya? Akan sekuat
apa saya membangun dinding pertahanan untuk melindungi diri dari diri saya
sendiri? Akan seenggan apa saya untuk mengakui ketakutan saya sendiri?
Lagi-lagi, Dia memang Maha Humoris.
Kopi di gelas saya sudah dingin, dan khayalan saya tentang
lima tahun ke depan makin menyenangkan. Mungkin, jika jalannya dimudahkan oleh
Dia, lima tahun ke depan saya ada di jalan menuju level kesadaran yang lebih
baik. sedang berusaha untuk terus ada dalam harmoni, dengan semua aspek. Dengan diri saya sendiri,
dengannya, dengan semesta.
see you soon.
isti bani, biji gandum.